akhir.

141 25 31
                                    

"Kamu beneran mau kita udahan?"

Saya menggeleng pelan, "bukan aku. Tapi kamu"

"Jadi kamu salahin aku? Kalau udah kaya gini kamu salahin aku, La?" suara Nata terdengar begitu tegas. Ia sungguh-sungguh menuduh saya.

Sudah sekitar satu bulan kami benar-benar tidak melakukan komunikasi dalam bentuk apapun. Rekor terakhir yang kami buat dua minggu. Tapi kali ini satu bulan, melewati batas wajar. Mungkin kami butuh waktu sendiri-sendiri karena terlalu sering bersama tapi nyatanya sudah berapa kali break yang kami buat dengan alasan yang sama.

Hati ini sudah melebihi batas sabarnya meskipun sabar katanya tidak ada batas. Namun, segala usaha yang kami perbuat sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan hubungan ini. Terlebih lagi kami sudah dewasa kami atau khususnya saya sudah mengerti mana cinta dan mana ketergantungan. Selama tiga bulan terakhir tanpa Nata rasanya saya mampu. Atau mungkin karena disana ada Danen? Well, kalau boleh egois dan berpikir secara logika hubungan saya yang berliku dan lama ini belum tentu bisa memastikan bahwa jodoh saya adalah Nata kan? Bahwa kami berjodoh?

Mungkin, saya sedang egois sekarang. Saya perlu waktu sendiri, saya perlu menenangkan situasi hati. Saya sudah mencoba semuanya. Saya melakukan tindakan ini dengan akal sehat yang saya punya. Dan tekad saya bulat.

"Nat, kamu sadar gak kalau kita cuma saling takut selama setahun terakhir ini. Kita cuma takut kehilangan satu sama lain? There's no love between us, Nat. I dont know where it goes but it's gone"

"Cuma kamu yang merasa kaya gitu. Jadi selama setahun ini aku berjuang sendirian? Kamu pikir semuanya untuk siapa?"

"Aku tau. Maka dari itu aku minta maaf"

"Maaf aja emang cukup, Ne? We should fix this together"

Saya tertegun. Fix, let's fix it together, we should fix it, we can fix it, fix it. Kata yang lebih sering diucap diantara kami dibanding love. Hingga saya berimajinasi sendiri kapan kata itu tidak diucapkan lagi diantara kami, butuh berapa kali lagi kalimat itu diucapkan agar semuanya benar-benar kembali lagi. Berapa kali lagi saya harus mengiyakan segalanya setelah mendengar kata tersebut. Dan bertindak seolah-olah tidak ada yang perlu dibenarkan itu hanya kalimat andalan.

"We can't fix this"

"No you're not. You can fix it but you won't"

"No im not"

"YES YOU ARE"

"WE CAN'T FIX IT BECAUSE THERE'S NOTHING TO FIX IT"

Suara kami hampir memenuhi seisi ruangan kantor di distro Nata. Kami kehilangan kontrol.

"Jasmine, kamu tau aku gak bisa tanpa kamu?"

"Stop keluarin kalimat-kalimat kamu yang gak masuk diakal, Nat"

"Kita sudah lebih dari 5 tahun, Ne. Kamu mau ancurin hubungan kita gitu aja?"

"Kamu lihat kebelakang. Siapa yang lebih banyak menghancurkan? Berapa kali aku bangun dan berdiri lagi sendiri tanpa kamu? Berapa lama lagi aku harus hancur setiap ngeliat kamu sama cewek lain? Berapa lama lagi hubungan gak sehat ini mau dipertahanin, Nat? Kamu tau we couldn't make it so don't pretend this relationship is ok"

"I'm sorry"

Hanya perlu kata fix it dan korban berubah menjadi saya. Bukan lagi Nata. Kata itu memang keramat dihubungan kami. Karena sudah terlalu sering diucapkan. Tapi percayalah. Hubungan ini memang sudah tidak pantas diperjuangkan.

"Aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf"

"Terus kamu mau apa?"

"Nat...."

"Ne..."

Kami sama-sama terdiam. Hening. Hanya suara angin berhembus dari aircon yang terdengar.

"Oke, kalau kamu mau....itu"

Nata dan Mine. Runtuh.

Seorang NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang