Pagi yang baru

155 34 29
                                    

Wangi aroma tubuhnya bercampur dengan sisa parfum yang masih melekat. Sinar matahari pagi menyelimuti tubuhnya dan tubuhku yang berbalut selimut putih di antara kami. Sudah setengah menit saya amati objek yang menemani tidur selama enam tahun ini. Mungkin ini terlalu awal, tapi keraguan di benak saya tentang akan terbelenggunya saya terhadap kisah kami sirna sudah. Ternyata saya mampu bertahan sampai sejauh ini, ternyata dia masihlah jadi favorit lanskap saya setiap pagi, ternyata wanginya tetap selalu mencandu.

Saya tersenyum lagi memandangnya yang masih terbaring lelah di samping.

"Jangan gitu liatinnya. Mau mesum ya?" Mulutnya tergerak lewat kalimat barusan sedangkan tubuh dan matanya masih terpejam dan masih di tempat semula.

"Sembarangan." Jawab saya sambil memalingkan badan, membelakanginya sekarang.

Seketika dekapan hangat terasa dari belakang tubuh saya dan membuat sekujur bulu kuduk ini menegang. Nata, memecah jarak lagi di pagi kami untuk kesekian kali.

Ia menaruh kepalanya di antara leher dan punggung saya, bernafas secara teratur disana, membuat diri ini malah tak mampu bernafas secara layak.

"Aku mau meluk kamu gini aja terus setiap weekend" katanya masih dengan posisi yang sama.

"You did that in everyweekend"

"I mean in my wholelife weekend. Sampe aku mati"

Saya tersenyum dibelakangnya, karena kalau tersenyum di depannya nanti dia bisa geer.

"Lola"

"Hm?"

"Mine"

"Hm?"

"Jasmine Adeline Prasetya"

"Hm? Apa sih?" Jawab saya tak sabar.

"Eh bukan deng. Jasmine Adeline Dewangga"

Saya terkekeh pelan.

"Inget ya nama belakang kamu bukan Prasetya lagi. Tapi Dewangga. Kamu tuh nyonya Dewangga"

Saya sengaja menghening sejenak. Biar saja Nata dengan celotehan paginya.

"Hei, nyonya Dewangga. Ngerti gak?" Katanya lagi yang sekarang sudah menjauhkan kepalanya yang berada di leher saya tadi.

Saya putarkan tubuh saya kearahnya, menatapnya yang terkejut dengan pergerakan saya barusan. Sambil tersenyum, saya kecup bibirnya kilat.

"Cerewet banget sih kalau pagi." Kata saya setelahnya. Di dekapnya saya kemudian, seperti takut kehilangan tubuh saya barang sedetik, yang lalu terlelaplah kami dalam buai sinar matahari pagi dibalik selimut.

"Bunda...." Belum lama terbuai, suara lembut terdengar dari depan pintu kamar kami yang terbuka.

"Ya sayang??" Jawab saya yang masih di balik selimut. Saya tahu betul suara milik siapa itu, dia Alfa. Anak laki-laki pertama kami yang baru berumur empat tahun, namun sudah banyak kali membuat bunda dan ayahnya merasa bangga, contohnya  diumurnya yang keempat tahun ini ia sudah bisa membaca meskipun masih terbata-bata, maka sebagai orang-tuanya kami putuskanlah tahun ini untuk menyekolahkannya di taman kanak-kanak.

"Aku udah bisa gosok gigi sendiri" Katanya yang sekarang menghampiri kasur kami.

"Wah hebat, jagoan ayah udah bisa gosok gigi sendiri" Ujar Nata yang menggendong anak kecil setinggi seratus dua puluh centimeter ke atas kasur kami.

"Iya yah" Jawabnya riang.

"Yah, kita jadikan ke musiumnya??" Tanyanya lagi.

"Jadi dong, ayah tidur sebentar lagi abis itu kita mandi terus berangkat deh ke musium" Jawab Nata sambil menatap anak semata wayangnya.

Saya tersenyum melihat interaksi pagi mereka, padahal pemandangan ini selalu tersaji di setiap penghujung akhir pekan kami.

"Alfa juga mau bobo lagi kalau gitu sama ayah-bunda" Ujarnya sambil menelusupkan tubuhnya di tengah kami.

"Eh tapi Alfa baru gosok gigi, yah. Nanti harus gosok gigi lagi dong?" Lanjutnya,

"Nanti Alfa gosok gigi bareng ayah, ok?"Jawab Nata sambil menunjukan ok dengan jarinya.

"Bunda di ajak gak, yah?"

"Enggak"

"Loh kok bunda gak diajak?" Saut saya merasa tak adil.

"Bunda mah masak aja. Ini urusan laki-laki"

"Iya bener. Bunda masak aja, nanti abis gosok gigi Alfa bantuin bunda deh" Timpal Alfa dengan suara khas anak kecilnya, argh anak itu benar-benar menggemaskan, hm Ayahnya juga hehe.

Seorang NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang