Angin membawa hujan terlalu jauh sampai saya bisa bertemu Nata sekarang, saya merapikan rambut saya dan menguncirnya kebelakang karena, demi apapun itu sangat lepek.
"Lo udah lama disitu?" Tanya Nata dengan fokus yang berada di kemudi."Gak, lo dateng gue baru nyampe"
"Kenapa gak minta jemput Ardan? Jojo?"
"Dia meeting. Ardan nemenin Dinda anterin orang tuanya ke bandara"
"Oh....lo belum bisa bawa mobil sendiri ya?"
"Belum boleh" Yang kemudian dibalas dengan anggukannya pelan.
"Lo kok lewat sini??" Saya membuka mulut saya lagi.
"Distro gue kan searah kantor lo?"
"Oh....iya" Saya mengangguk pelan mengartikan saya paham.
Suasana mobil setelah itu hening hanya lagu Vance Joy- Georgia yang terdengar sampe ke seluruh sela ruangan mobil.
Tapi, tidak lama Nata memecahkan keheningan yang mengunci kami.
"Sibuk gak?"
"Kenapa?"
"Kalau lo gak sibuk mau gue ajak ke rumah"
"Emang ada apaan?"
"Mau nepatin janji waktu di rumah sakit"
"Hah janji yang mana?"
"Yang kalau lo sembuh gue mau buatin indomie"
Ah, iya saya ingat waktu itu hujan sangat deras, namanya juga orang Indonesia. Saya ingin sekali Indomie rebus, namun sangat disayangkan kalau saya belum bisa mengkonsumsi makanan instan apalagi sejenis mie. Kebetulan ada Nata disitu jadi ia berjanji akan membuatkan saya indomie kalau saya nanti sembuh.
"Oh boleh"
"Sip, kita kerumah gue ya"
***
Kata Nata, orangtuanya sedang ke Jogja selama seminggu karena ada urusan keluarga. Jadi, sekarang hanya ada saya dan dia, sebenarnya ada satu asisten rumah tangga keluarganya, tapi mungkin sedang di belakang.
"Lo mau minum apa?" Tanyanya sambil mengaduk mie di panci.
"Apa aja deh"
"Ehiya lo ganti baju aja, pake baju Teta"
"Teta??"
"Iya Teta. Kayanya lo gak perlu kaget dua kali deh karna tau Teta adek gue"
Saya memutar memori saya kembali, mengingat-ingat kapan Nata pernah bilang kalau Teta adalah adiknya.
"Ah iya, waktu itu lo pernah bilang di rumah sakit" Saya baru ingat sekarang.
"Anaknya lagi pergi sama Wirga. Lo keatas aja gih ambil sendiri, udah biasa kan?"
Saya bisa pastikan seribu persen, wajah saya sekarang menunjukan mimik paling bingung dan aneh. Kapan saya pernah biasa di rumah Nata?
Nata masih fokus dengan buihan air yang mendidih di panci mie rebusnya, sambil sesekali mengaduk dan menyiapkan mangkuk, yang lalu ekspresi wajahnya berubah sepersekian detik. Ia menoleh kearah saya.
"Gue lupa" Saya yakin ia sedang bermonolog dan bukannya mengajak saya bicara,
"Sini ikut gue, biar gue ambilin" Katanya sambil meletakan sumpit di samping kompor yang kemudian mendorong tubuh saya berjalan ke lantai atas.
Saya mengekorinya dari belakang, rumahnya Nata terasa tidak asing atau memang benar tidak asing? Nata berhenti di depan pintu kamar bertuliskan "Teta's room"
Seperti kamar wanita pada umumnya, begitu juga kondisi kamar Teta. Nata berjalan kearah ruangan kecil di samping kamar mandi sepertinya sih itu lemari ruangan, dan keluar dengan celana panjang berwarna putih juga baju rajut berwarna merah muda.
"Nih pake, kalau mau mandi dulu. Mandi aja di kamar Teta. Anduknya ada di kamar mandi. Gue kebawah ya"
"Makasih, Nat"
Nata tersenyum berlalu kemudian menutup pintu kamar. Meninggalkan saya yang tanpa petunjuk di kamar sahabat saya yang terasa asing.
Manik saya menangkap sebuah bingkai foto yang dimana ada saya, Teta dan Meera disitu. Letaknya di sebelah meja kecil di samping tempat tidurnya, tepat di sampingnya ada foto kecil Nata memeluk Teta yang berbalut pakaian musim dingin diantara salju putih yang menumpuk. Tidak sengaja saya ikut tersenyum melihat foto-foto itu. Manik saya kembali mengeksplorasi isi ruangan.
Aneh, setengah hati saya seperti bernostalgia tapi otak saya menegaskan bahwa ini pertama kalinya saya datang.
Kepala saya menggeleng sebentar bermaksud mengembalikan diri ke dunia nyata, kaki saya melangkah pergi kearah kamar mandi sebelum saya berpikiran aneh-aneh lebih jauh.
**
"Udah gue pakein sayuran sama sosis ayam yang banyak" Ujar Nata mengaduk-aduk mie dihadapanya.Saya mengangguk, "Makasih, Nat"
"Sama-sama" Nata membalas tapi dengan fokus yang sepenuhnya milik mie di mangkuknya.
"Teta pulang jam berapa, Nat??"
"Malem paling. Katanya ada acara sama keluarganya Wirga"
"Oh mungkin acara anterin orangtuanya ke bandara ya?" Ujar saya.
"Gak tau juga sih. Izinnya cuma pergi sama Wirga tadi"
Saya mengangguk pelan, memberi konsentrasi ke mangkuk yang berisi mie di hadapan saya, kemudian hening mengunci kami.
"Dimakan mienya. Jangan diliatin begitu" Kata Nata.
"Iya...iya"
"Eh Ne, bentar ya. Gue mau ambil sesuatu keatas"
Saya iyakan dengan sebuah anggukan pelan dan beranjaknya Nata dari kursi menandakan saya sendiri di meja makan yang berisi tiga kursi kosong tersisa.
Ponsel Nata yang berada dipinggir meja sebelah mangkuknya bergetar kencang sambil mengeluarkan suara ringtone mengartikan bahwa ada panggilan masuk. Sebenarnya saya bisa saja mengangkat telfon itu, tapi tidak sopan namanya. Getaran yang ditimbulkan menggeser tempat ponsel itu berada sekarang, yang kemudian,
"Trenggg!!!!" Ponsel Nata terjatuh bersamaan dengan nada ringtone yang berhenti.
Buru-buru saya ambil ponsel itu, sambil berdoa kalau benda jenius tersebut akan baik-baik saja.
"Huh....untung masih nyala" Kata saya ketika ponselnya Nata masih utuh dan menyala seperti biasa. Tepat saya memegangnya ada sebuah pesan masuk yang membuat layar ponsel menyala karna ada notifikasi.
Saya terbelalak.
Manik mata saya membesar ketika tahu apa yang terpasang di layar ponselnya.
Otak saya bekerja keras sore ini, mencari memori yang mungkin terlewat oleh saya. Akal sehat saya mencerna apa yang kedua mata saya tangkap barusan, mencoba memberi alasan kalau pemikiran saya salah. Tapi, ada lebih banyak alasan lagi yang membenarkan kalau itu memang foto saya. Dan Nata. Bersama.
Dan lagi, cenut di kepala yang saya rasakan terakhir kali bergabung bersama dengan memori, bagai pertunjukan film semua bergulir tanpa di suruh lewat pikiran saya. Semakin memori itu memutar kenangannya semakin otak saya bekerja keras, semakin juga sakit di kepala yang saya alami terasa nyata.
Setelah semuanya saya ingat. Pertunjukan memori itu terhenti, seperti waktu yang membeku kenangan itu ikut berhenti. Hati saya kemudian terasa sakit, airmata seakan ingin mengalir sekarang. Saya terpatung.
Ketika ingat, kalau foto di layar ponsel Nata adalah foto kami yang diambil pada perayaan hari jadi kami yang ke-3 tahun.
Tubuh saya terhempas jatuh, hati saya merasakan kemenangan, karena telah menemukan satu jawaban yang saya cari lama.
"Ne!!!!" Suara Nata membuat saya makin melemah jatuh. Tapi, saya masih bisa merasakan kalau tangannya mencengkram bahu saya.
"Lo enggakpapa kan?!" Ia setengah berteriak sekarang.
Saya menarik nafas yang kemudian menatapnya dengan airmata yang menetes tidak bisa saya bendung,
"Nat, aku kangen kamu"