Kata ketidaksengajaan yang awalnya tidak memiliki makna apapun, kini mempunyai peran utama dalam hidup saya. Ketidaksengajaan yang tidak pernah ambil andil sebegitu nyatanya mendadak menjadi penuh arti. Ketidaksengajaan yang selalu menjadi alasan masuk akal pada situasi tertentu, tiba-tiba menjadi serumit itu untuk dipahami. Saya rasa bukan hanya diri ini yang merasakannya tapi juga lelaki dihadapan saya, Nata.
"Nat?" Kataku seraya menatap kearahnya dan wanita yang ikut tertawa bersama beberapa detik yang lalu.
"La? Kamu ngapain disini?"
"Kamu ngapain disini?" Raut mukanya berubah yang tadinya sedikit tersenyum sisaan canda-tawa mereka yang lalu, mendadak kelabu begitu saya lontarkan pertanyaan balik.
Tidak perlu waktu lama untuk Nata mengeluarkan jurus andalannya (ini hanya istilah saya).
"Aku bisa jelasin, La?"
Dengan hitungan sepersekian detik ia benar mengeluarkan kalimat dari salah satu jurus andalannya. Saya menyebutnya kalimat sakti.
"Siapa dia, Nat?" Bisikkan wanita disampingnya bahkan terdengar hingga ke telinga saya. Nata tidak menjawab dan memilih memegang tangan kanan saya seketika.
Tapi.
Semuanya.
Sudah terlambat.
"Kamu gak perlu jelasin. I already know it" Lirih saya.
"Ini gak seperti yang kamu bayangkan"
"Bahkan aku gak bisa bayangin kalaupun kamu suruh aku bayangin sekarang?" Balas saya sambil melepaskan genggamannya dan melangkah mundur pergi.
Nata tidak berusaha, ia tidak pergi menahan saya. Ia tidak beranjak dari tempat dimana saya meninggalkannya. Ia tidak melakukan itu. Hingga sosok dirinya hilang dari pandangan.
***
"Hei? Kamu darimana aja? Aku cariin" Suara Danen seketika terasa merdu dan menenangkan, meskipun memang suaranya selalu menenangkan tidak mengenal waktu. Tapi disituasi seperti ini makin terasa merdunya.
"Ke toilet" Jawab saya singkat.
Jujur saya tidak ingin menambah masalah dengan Danen tahu kalau saya baru saja memergoki pacar saya sendiri sedang bersenang-senang entah dengan perempuannya yang ke berapa di mall yang sama dengan kami.
"Are you sure??" Wajah Danen menatap wajah saya yang menunduk.
Saya coba untuk menahannya. Tapi mungkin hati ini begitu rapuh hingga runtuh dengan hanya sebuah kalimat yang keluar dari mulut Danen.
Airmata saya seketika menetes, seraya otak mencari cara bagaimana memberikan alasan agar kami tidak meneruskan acara nonton bioskop karena mood saya yang sudah kepalang berantakan.
"Dan, maaf tapi kita bisa pulang aja? Perutku mendadak sakit"
Danen mengangguk sambil merangkul saya pergi. Tatapannya seakan tahu apa yang kini saya rasakan.
*
Tiang pertama dunia Nata runtuh seketika. Saya harap tidak memerlukan waktu lama untuk membangunnya kembali, tapi nyatanya dunia Danen semakin kokoh perlahan.
Hal yang saya takuti datang, tanaman liar itu tumbuh dengan baik.