Mata saya yang enggan beranjak dari atensinya yang sekarang disambut oleh lawan sinarnya sepersekian detik, lawannya juga enggan hengkang. Seperti menjelaskan lewat bahasa tatapan kalau biarkan saja kita seperti ini sesaat, biarkan saja segalanya melebur lewat tatapan, kita tidak perlu kalimat atau kata toh tatapan mampu menjelaskan semua.
Kepala Nata masih ditempat semula, tapi kali ini pelan-pelan saya biarkan tetap disitu, setelah sebelumnya ia memaksa untuk melakukan posisi ini. Oh ayolah, dengan kehadirannya kembali bagaikan petir di siang bolong saja belum berhasil membuat saya kalem. Janganlah menambahkan senam jantung lain lewat perilakunya juga yang seperti salju turun di musim panas.
"La"
Saya agaknya lebih pandai berbahasa lewat tatapan sekarang. Seketika lidah saya lupa cara berbicara.
"Lola"
Tapi, ternyata tidak. Itu hanya keegoisan saya semata, untuk tetap menikmati maniknya tanpa distraksi dari kalimat manapun.
"Hm?"
"Kaya gini ya? Lima menit aja" Ujarnya memohon.
"Gak. Bangun lo, kalau nanti Teta muncul terus mikir macem-macem gimana"
"Apa yang salah sih dengan gue tiduran di paha lo. Emang kita make out di ruang tamu apa" Sautnya dengan nada kesal. Bukannya salah Nat, is it too fast for us? To do this clingy things? Meanwhile i still keep wondering what's going on with my heart?
"Mau makan apa? Lo belom makan kan?" Katanya yang sudah beranjak dari bantalan paha saya. Akhirnya dia yang mengalah.
"Gak laper"
"Gak laper gimana sih, lo kan belom makan dari pagi. Terus emang di apartemen ada yang masakin? Lo aja gak tinggal sama bunda, emang ada yang masakin?"
"Ada"
"Siapa?"
"Popmie"
Ia menghela napasnya tanda kesal atas kalimat saya barusan.
"Makan ya?"
"Enggak."
"Ih makan"
"Enggak, Nat. Ntar gue gendut, ini udah lewat jam delapan malem" Kata saya dengan nada sedikit membentak.
Perlahan Nata mencuri ruang gerak saya, membunuhnya terus hingga ke akhir batasnya. Saya yang total terkunci di atas sofa, duduk sambil meremas bantalan disamping. Sedangkan Nata menguasai segala ruang gerak. "Makan, kalau gak makan gak boleh pulang" yang kemudian ia tarik tubuhnya dari hadapan saya dan mengembalikan ruang gerak.Nata kenapa sih.
"Yaudah iya" Jawab saya sekenanya.
Ia tersenyum dan berjalan kearah dapur, sedangkan saya masih tertatih mengembalikan nafas yang sempat tercuri beberapa saat darinya.
Sepintas penggalan-penggalan kenangan dari masa lalu muncul, tentangnya, tentang kami. Semakin hari semakin sering, membuat saya menerka akankah masih ada jalan lagi yang terbuka? Akankah ini jalannya?
***
Status hubungan saya dan Nata tidak berubah secepat kehadirannya ataupun perilakunya, kami masih kedua 'teman' yang sama seperti tiga minggu yang lalu. Tidak ada yang beda selain ia yang selalu mengantar saya kemanapun, ia yang bersedia waktunya di curi dua puluh empat jam, ia yang memasakkan saya indomie di tengah malam, Nata yang selalu ada untuk saya.
Sudah hampir satu bulan sejak saya kembali ke Indonesia, dan sudah hampir satu bulan juga komunikasi kami terjalin intensif. Pelan tapi pasti. Entah kemana arahnya perahu ini pergi, saya harap cukup kuat untuk menopang dua orang dan sejuta mimpi mereka.
Saya tersenyum tanpa disadari, "Ngelamun jorok lo ya" Sautnya dari balik kemudi.
"Ih apaansih"
"Ya itu senyum-senyum"
"Emang gak boleh senyum-senyum sendiri? Ada Undang-Undangnya?!" Nada kesal ini bukan yang kesekian kali terlontar.
"Hahaha bercanda" Saya tidak membalasnya dengan kalimat, hanya lewat putaran manik saya kearah jendela yang berhasil merespon kalimat yang ia lontarkan tadi.
"Jangan ngambek dong,La. Kan bercanda"
"Gak lucu"
"Jangan galak-galak napa"
"Bodo" Saya menepis tangannya yang mencoba menjawil dagu saya dan memindahkan kearahnya.
"Yaudah kalau mau ngambek. Awas ya kangen"
Saya menghening. Membiarkan radio yang terus mengisi ruang kosong tanpa komunikasi di antara kami. Tapi justru sebuah kalimat pertanyaan yang mondar-mandir sejak awal komunikasi ini dibuat muncul kembali tiba-tiba dan menuntut keluar dari sangkar otak.
"Nat, lo gak punya pacar apa?" Begitu bunyinya.
"Punya" Atensi saya bukan lagi jalanan dibalik jendela, saya putar kearahnya dengan halus. Tapi, mengunci.
"I tried to moving on, but i go nowhere" Ujarnya yang hampir seperti bisikkan, dan maniknya yang tetap pada atensinya, jalanan.
"Setelah gue sadar kalau bukan lo gak akan sama. Gue berhenti mencari, gue ubah jadi menunggu. Gak perduli kalau emang gak ada peluang lagi. Tapi, misi gue bukan lagi mencari"
Hening, lidah saya kembali kelu. Lupa cara berbicara. Saya kembali gunakan bahasa tatapan, yang Nata agaknya sudah ahli karena seringnya frekuensi bahasa ini keluar di antara kami. Karenanya, sesaat kemudian ia balas tatapan saya bersamaan dengan berhentinya mobil di parkiran. Maniknya berhenti menelusuri tatapan saya, dan seketika bahasa lisan mengembalikannya lagi, sepersekian detik kemudian ia berkata:
"And i found you"
Mendadak seisi dunia seperti hilang, mendadak nafas jadi tidak begitu sulit, mendadak segalanya menjadi seringan kapas. Begini rasanya lega.