Nata

132 36 18
                                    

Saya tidak tahu persis kapan orang-orang disekeliling saya mulai mengaitkan segala hal dengan nama 'Nata'. Bahkan bunda dan ayah tidak sungkan untuk menyuruh Nata menemani saya di rumah sakit ketika ia ingin. Seperti halnya sekarang, ia datang lagi dengan sekantung manisan dan beberapa kotak susu rasa pisang.

Tidak ada rasa penasaran di benak saya soal lelaki ini, hanya saja saya muak menjadi satu-satunya orang yang tidak mengerti situasi. Sedangkan, semua orang membiarkan saya menerka segalanya.

"Minum nih. Lo suka banget kan" Ujarnya sambil menyodorkan susu pisang yang kini sudah siap minum.

Namun, saya menggeleng.

"Kenapa?"

"Gak pengen" Jawab saya seada-adanya.

Bukannya saya benci lelaki bernama Nata itu. Saya benci situasinya, saya benci situasi ini. Saya benci tidak mengenal diri saya sendiri. Saya benci hal-hal yang dilakukannya, seakan-akan dirinyalah yang paling maha mengetahui tentang diri seorang Jasmine Adeline Prasetya. Bahkan melebihi diri saya sendiri.

"Tapi, gue beliin lo kinderjoy kok. Kalau gak mau minum susu pisang, makan ini aja?" Katanya sambil memberikan coklat berbentuk telur.

"Apaansih itu kan coklat anak kecil"

"Tapi lo suka"

"Gak" Saya membuang muka. Meskipun sebenarnya saya suka coklat anak kecil yang dimaksud.

Lelaki bernama 'Nata' itu menyadari adanya perubahan suasana di ruangan ini. Harusnya sih dia sadar sedari tadi.

Langkah kaki membawa dirinya mendekat lebih 'jauh' kearah saya. Ia duduk di samping kasur tempat saya berbaring sekarang.

"Lo kenapa?" Katanya dengan suara rendahnya yang berat.

Saya terhening. Masih membuang muka.

"Ne? Lo kenapa?"

"Nat, gue pengen sendiri. Bisa tinggalin gue??"

Nata mengambil langkah menjauh dari tempat dimana ia berada sekarang. Ia letakan beberapa kotak susu pisang dan kinderjoy di lemari pendingin tidak jauh dari tempat saya berbaring. Kemudian ia berdiri dan menatap saya nanar, saya menunduk menghindari tatapannya.

"Kalau lo perlu gue. Lo bisa telfon, gue udah simpen nomor gue di ponsel lo" Ujarnya

Saya mengangguk. "Makasih"

"Take your time" Kata Nata sambil berlalu.

Sudah lebih dari dua minggu saya terbaring di rumah sakit, itu berarti sudah dua minggu juga Nata berada di sekitar saya. Dia ada di pagi saya, siang saya, sore saya, malam saya. Nata hadir di setiap hari saya di rumah sakit.

Saya menyukai dirinya yang perduli kepada saya melebihi diri saya sendiri. Akan tetapi, saya perlu waktu sendiri.

Bukan, itu bukan alasan utama. Alasan yang utama adalah saya tidak nyaman, menurut saya Nata sudah bertindak lebih dari sekedar teman. Dan saya tidak nyaman.

"Mba, ada mas Nata itu diluar?" Suara Ardan memecah segala lamunan saya soal Nata.

"Iya"

"Kok gak disuruh masuk?"

"Mba suruh dia keluar"

"Kenapa??"

"Enggakpapa"

"Mba Mine lagi kenapa sih?" Ardan membuka lemari pendingin sambil mengambil satu kotak susu pisang kemudian duduk di kursi sebelah tempat saya berbaring.

"Enggakpapa"

"Ih jangan enggakpapa-enggakpapa Ardan takut jadinya"

"Emang gak kenapa-kenapa"

"Terus kenapa mas Nata diluar?"

Saya diam sebentar kemudian membiarkan rasa penasaran saya mengucap apa yang ia ingin katakan lewat mulut saya.

"Dan, Nata tuh siapa sih?"

"Maksud mba?" Ardan terlihat sedikit terkejut. Oh tidak, bukan hanya kali ini Ardan terkejut. Ardan selalu seperti ini setiap saya tanya soal Nata. Sebenarnya bukan dia saja, ayah, bunda dan yang lain juga selalu mengeluarkan ekspresi yang sama setiap kalimat itu terlontar dari mulut saya. Seakan-akan itu adalah pertanyaan yang paling bahaya. Entah, atau memang itu adalah rahasia.

"Nata tuh siapa? Kok ya sampe sebegininya sama mba"

"Dia temen mba" Ardan ragu dengan kalimat yang dia ucapkan barusan, suaranya bergetar. Saya tau betul adik saya yang satu itu. Dia bukan orang yang pandai berbohong dan berkelak.

"Mba beneran gak kenapa-kenapa kan, Dan? Setelah kecelakaan itu mba beneran cuma geger otak aja kan?"

"Mba kok nanya gitu??"

"Ya abis mba ngerasa aneh aja. Sebenernya tuh ada apa sih. Mba tuh ngerasanya kaya ada yang ilang tapi pas mba pikirin lagi gak ada"

"Udah mba tidur aja mending. Daripada mikir yang macem-macem" Ardan menyelimuti saya dan menekan remote control tempat tidur untuk menyejajarkan posisi semula.

"Yeh mba kan nanya" Saya tidak mau kalah.

"Nanti juga mba tau sendiri"

Seorang NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang