Dia senja. Saya mentari.
Banyak orang bilang senja selalu merindukan mentari, bagaimana kalau dalam cerita ini mentari yang selalu merindukan senja? Sedangkan senja?
Mentari juga tidak tahu persis kapan senja pernah merindukannya tapi yang jelas mentari selalu menunggu saat - saat senja memeluknya hangat menemaninya istirahat dalam gelapnya malam dengan sinaran bulan dan bintang sebagai altarnya.
Kadang, mentari memohon untuk senja memeluknya di antara bintang dan deburan ombak bersama wangi samudera yang akan selalu menjadi favoritnya. Tidak jarang senja mengabulkannya.
Mentari bersedia memberi apapun hanya untuk tetap menikmati dekapan hangat sang senja yang tidak seberapa lama. Karena senja akan, terus, selamanya lebih berharga daripada apa yang dia punya. Mentari bilang jarak selalu memisahkannya dari senja, pagi dan siang yang membuat jarak diantara mereka. Tapi, kata senja jarak itu fana. Mentari tidak percaya karna kata orang yang fana adalah sang senja dan ia akan selalu seperti itu. Mentari tidak percaya pada keduanya karena ia menikmati jarak diantaranya dan senja yaitu jauh. Sehingga mentari percaya akan ada jauh yang selalu menjadi favoritnya. Jauh itu senja.
Sedangkan untuk saya. Jauh itu Nata.
Sepuluh menit sudah saya menikmati pemandangan yang tidak jarang saya lihat dulu sekali. Pemandangan yang saya baru sadar kalau itu adalah favorit saya. Ada banyak favorit kalau saya berbicara soal Nata. Tidak apa kalau kalian bosan, tapi saya tidak akan pernah. Soal jauh, jarak saya antara Nata sekarang mungkin sekitar 20 meter. Tapi ia masih terasa jauh dan masih menjadi favorit saya. Jika menerka soal apa yang terjadi dengan saya dan Nata, tolong saya juga tidak mengerti. Tapi, saya ingat persis kenapa saya berdiri disini. Saya rindu jauh saya itu.
Hampir satu tahun setelah kembalinya saya dari Praha. Saya juga tidak sadar kalau pendidikan S2 saya akan secepat ini tapi saya bersyukur. Lagipula saya rindu Indonesia, Jakarta, keluarga, sahabat, kerabat, teman.
Dengan segala visi dan misi saya tentang hidup dan karir serta motivasi yang tidak henti - hentinya diberikan oleh keluarga dan teman - teman yang membuat saya bertahan selama satu tahun terakhir saya kemarin di Praha. Sebenarnya saya juga bukan tipe perempuan yang akan menangis sendu tanpa henti ketika kekasih menuntut untuk pergi. Saya yakin saya bisa bahagia begitupun Nata. Bisa dibuktikan dia tidak henti tersenyum dari sepuluh menit yang lalu dari pandangan 20 meter yang saya nikmati sekarang.
Jika Ardan adik kandung saya berharap kalau seandainya Nata sendiri sekarang. Saya sebaliknya. Bukan karna saya tidak ingin kembali ke dekapannya tapi saya tidak ingin berharap keburukan dari kebahagian orang.
Teta sudah mengantarkan beritanya sendiri ke saya kalau Nata sudah hampir setahun menjalin hubungan dengan seorang wanita cantik bernama Widya. Tapi Teta bilang ia tidak tahu lebih dari itu karena ia tidak terlalu perduli dengan siapa kakaknya itu berhubungan sekarang. Saya juga tidak ingin tahu lebih lanjut. Karna untuk apa?
"Lo ngapain masih di sini?" Ujar Teta yang menyenggol lengan saya pelan
"Eh Ta?" Kata saya spontan
"Lo ngapain masih disini? Kan gue janjiannya di distronya mas"
"Oh iya gue nunggu lo"
"Yaudah ayo masuk"
Hening menerpa saya untuk kesekian kalinya di hari ini.
"Ne gak- papa kan?? Kalau...."
"Gak -papa. Kita udah dewasa harusnya bisa melindungi perasaan masing - masing"
"Maaf" Kata Teta lagi
"Gak- papa Ta. Kan gue sendiri yang mau ucapin 'selamat' "
Teta menatap saya dengan perasaan bersalah karna menyetujui kemauan saya memberi selamat atas distro Nata yang baru saja dibuka lagi di daerah Bintaro.