Telfon dari Bandung

147 40 16
                                    

Butuh waktu 10 menit ber-argumen untuk Nata mengatakan hal yang tidak benar- benar ia harus katakan dan butuh waktu 20 detik untuk saya menyadari kalimat yang di ucapkan Nata tadi.

"KITA PUTUS" dengan sedikit berteriak lewat telfon Nata membuat saya merinding.

Saya dan Nata mungkin adalah pasangan yang sangat dinamis. Tapi bukan berarti kami arogan dalam memutuskan masalah.Namun, seperti tersiram air dari antartika saya menggigil mendengar kalimat Nata tadi.

Kami memang sudah tidak berhubungan dengan baik sejak enam bulan yang lalu. Semuanya menjadi semakin rumit, saya sibuk dengan kegiatan kuliah saya di Praha dan Nata sibuk dengan usaha distronya di Bandung dan Surabaya. Sedangkan kami sudah sekitar satu tahun tidak bertatap muka langsung.

Tapi entah kenapa, hari ini saya merasa bertindak terlalu jauh saya terlalu insecure bisa dibilang saya takut luka yang saya punya kembali lagi. Saya curiga dengan Nata tanpa sebab. Saya terlalu banyak melontarkan pertanyaan yang memojokkan dia. Saya terlalu egois. Saya....salah.

"Nat?" Lirih saya.

"Kalau kamu gak percaya sama aku ya putus aja" katanya lagi. Saya berani sumpah ia mengatakannya sangat lantang.

"What do you mean by that?"

"La, aku 24/7 selalu mikirinnya kamu. Aku bina diriku sendiri sampe punya distro di Surabaya buat siapa? Buat kamu, buat kita. Aku lakuin hubungan jarak jauh kaya gini buat siapa? Kamu. Terus kamu masih mau nuntut apa lagi dari aku? Gak bolehin aku bertemen sama cewek?"

"Aku gak minta kamu harus gak bertemen sama cewek. Aku cuma tanya kamu pergi sama siapa. Kenapa kamu ke Bandung harus selama itu?"

Saya beritahu. Nata baru saja bilang kalau ia akan di Bandung selama sebulan. Bisa saya katakan itu aneh karena paling lama ia melakukan bussiness trip ke Bandung hanya dua minggu. Wajar dong kalau saya curiga??

"Haruskah aku jelasin. Aku ketik di excel aku bikin jadwal biar kamu tau aku kemana aja selama sebulan?"

"Nat, itu kan pertanyaan umum"

"La, maaf aku gak bisa"

"Gak bisa kasih tau aku karena aku gak berhak tau kalau kamu lagi sama Laura?"

"JANGAN PERNAH SEBUT NAMA ITU LAGI"

Saya terperanjat di seberang telfon. Seumur hubungan kami, Nata tidak pernah se-begitu marahnya hingga ia meneriaki saya. Ia tidak pernah berteriak kepada saya. Nata yang saya tahu tidak pernah melakukan itu.

"KENAPA?" Tapi saya malah ikut terpancing emosi.

"MINE, ITU MASALALU. OH COME ON BISA GAK KAMU CUMA BELAJAR AJA DI PRAHA? GAK PAKE NUDUH ORANG MACEM - MACEM SEGALA? BISA?"

Saya diam. Sedangkan Nata diseberang sedang mengatur nafasnya. Ia benar - benar marah.

"Kita break aja dulu" ujar Nata dengan nada serendah mungkin.

"Gak perlu break. If you think she's more enough. If you think you can happier with her more than me. If you love her more than me. I let you go. We 're never make it if we're always fighting like this. We're never go on if we're still stuck in this moment. I wish you happy, Naranta Dewangga"

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara nafas Nata yang kembali teratur. Saya kerahkan seluruh tenaga terakhir saya untuk menutup telfon. Setelah saya menyadari apa yang benar - benar terjadi. Hanya satu yang saya rasakan.

Asma saya kambuh.

Seorang NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang