"Would you quit playing?"
Saya gak menerima respon kalimat dari mulut Jasmine, responnya hanya berupa tatapan nanar, sambil melonggarkan genggaman tangan yang sedari tadi terselip diantara jemari kami. Saya gak ngerti, apa yang menyebabkan perubahan suasana hatinya seketika, tapi kalau itu karena kalimat saya barusan. Jujur, saya lebih sakit dari Jasmine. Kalau menurutnya kalimat yang baru saja saya ucapkan itu memberatkan hatinya, jujur waktu yang saya lalui kemarin-kemarin lebih berat dibanding dengan apa yang Jasmine rasakan.
"Would you quit playing?" Saya mengulangi kalimat yang baru saja saya ucapkan sepersekian detik lalu.
Jasmine bukan orang bodoh yang tidak mengerti arti kalimat saya barusan. Jasmine jelas tau apa yang saya maksud.
"Jo...kalau maksud kamu soal Nata. Sorry im so sorry that i've hurt you so many times and it causes him. Maafin aku soal ingatan ku yang balik"
"Aku sama sekali gak salahin ingatan kamu yang balik. Aku cuma mau kamu stop playing, aku cuma minta kamu cuma liat aku aja. Tanpa ada embel-embel Nata disitu"
Mungkin, Jasmine berpikir selama ini saya baik-baik saja. Tapi, jelas saya tidak. Siapa yang bisa biasa aja kalau pacarnya berinteraksi dengan mantannya sendiri dengan intens terlebih lagi mantannya adalah sahabat saya, terlebih lagi mantannya adalah yang Jasmine tidak bisa lupakan sebelumnya. Mungkin, dikala lalu saya fine-fine aja dengan segala kegiatan yang mereka lakukan eventhough itu di depan saya ataupun di belakang. Sebenarnya saya memberikan waktu tersebut karena bermaksud untuk memberi Jasmine spare waktu untuk benar-benar melepaskan, Nata. Dengan tidak memaksa tentunya, pemaksaan bukan cara saya. Dan saya kira sudah cukup waktu yang saya berikan, Jasmine bukan anak kecil lagi, sayapun begitu.
Bukan karena saya memberi sekat diantara mereka setelah ini. Tapi, bukan dosakan mempertahankan ruang saya di hati Jasmine, agar terus bisa mempunyai prosentase lebih tinggi dibanding laki-laki lain.
Kami masih berdiri diantara ruang tengah dan dapur apartemen Jasmine. Seharusnya malam ini adalah malam yang sangat romantis, karena kami baru saja akan merayakan makan malam valentine yang sempat tertunda karena kesibukan masing-masing. Tapi siapa sangka kalau ini berubah jadi malam yang serius dan dingin, karena kami berdua sama-sama bertarung dengan ego, lewat kalimat saya yang terucap sepersekian menit lalu.
"Jo...kalau ini soal Nata. Jelas itu soal ingatan aku yang balik"
"Aku udah bilang is not about your recall. Ini soal kamu dan ego kamu"
"Aku pikir kamu percaya sama aku"
"I do, always. Tapi, aku gak percaya Nata, aku gak percaya kalian akan jadi sekedar teman atau mantan kalau kamu gak quit this game, Ne"
Jasmine menjatuhkan tubuhnya di sofa gak jauh dari kami berdiri. Tangannya yang sekarang sudah mencapai kepalanya, ia pijat-pijatkan sebentar sambil menatap lilin aromaterapi yang terpasang di meja ruang tamu.
Saya mengekori dan ikut duduk disebelahnya. Dengan harapan yang masih menggebu, saya tahu Jasmine bisa bijak memutuskan.
"Aku gak tau harus apa"
"Ne, maaf. Tapi aku gak mau bagi apa yang aku punya, aku gak mau beri ruang aku di hati kamu buat Nata. Gak lagi"
"Kamu tau aku selalu punya kamu, Jo. Kamu juga tau aku gak pernah cheating"
"Tau, Ne. Aku jelas tau kok, tapi aku juga jelas tau kalau mata kamu nunjukin bukan aku aja yang ada di hati kamu sekarang"
Jasmine sekarang menundukan kepalanya lagi. Kemudian ia tegakan dan menoleh kearah saya. Jasmine tarik napasnya sebentar yang diikuti dengan kalimat yang keluar dari mulutnya setelah itu,
"Give me a time"
"I already did" Ujar saya tanpa ragu.
"I mean another more time"
"I already gived you all. You totally owned me, my time, my treasure, my love. You owned everything and i can make it sure that you're not miss a thing, Ne. I already gived you. Dan aku rasa udah cukup"
"Jo...jangan paksa aku"
"Aku gak paksa kamu. Kalau kamu emang gak bisa then i'll try to let you go. Mungkin kita emang gak bisa bareng......." Jasmine mencuri kalimat saya yang belum selesai kemudian,
"Jo please. Don't ever say that"
"Ne, aku cuma realistis. Buat apa aku pertahanin kamu kalau kamunya aja gak hold aku??"
Jasmine menundukan kepalanya lagi, jari-jarinya menguasai kepalanya sekarang yang tengah menjelajahi inti kepala Jasmine lewat rambut. Jasmine menarik napas dalam-dalam, lalu membuka mulutnya kembali.
"Aku jauhin Nata....."
Saya menatapnya lurus. Yang setelah itu Jasmine menarik napas berat dan melontarkan kalimat selanjutnya,
"Aku ambil segala resikonya. Aku mau kamu"
Mulut saya tidak merespon tapi tubuh saya sudah lebih dulu mendaratkan dekapan bahagia dan kemenangan ke tubuh Jasmine. Dan dekapan balasan dari dirinya mengklarifikasi bahwa ruang hati Jasmine sepenuhnya milik saya, tanpa ada selipan Nata.