Singapura, 9 Oktober 2016
Angin berhembus dari jendela yang masih terbuka sejak sore kemarin dan udaranya menelusup masuk ke pori-pori kulit. Membangunkan saya dari lelapnya tidur yang menenggelamkan diri ke alam mimpi sejauh saya berlari disana tadi.
Mata saya mengerjap berkali-kali, sambil memindai seluruh isi ruangan. Siapa tahu saya lupa ingatan, tapi ternyata tidak karena saya masih ingat kalau saya terlelap di sofa apartemen sendiri selama delapan jam tanpa distraksi. Terimakasih kepada acara tv yang membosankan serta pekerjaan yang menumpuk karena telah membuat saya lelah, menina-bobokan diri dan akhirnya terpaksa tidur dengan waktu yang paling produktif di banding hari-hari kemarin.
Saya raih ponsel yang berada di meja kotak tidak jauh dari sofa tempat saya berbaring. Kebiasaan yang belum bisa saya rubah, mencari ponsel begitu bangun tidur. Entah, berita dari siapa yang di nanti, pokoknya saya harus cari ponsel terlebih dahulu. Saya aktifkan sambungan wifi ke ponsel yang di matikan sejak saya menutup mata. Pesan masuk beradu memberikan notifikasi, ada satu pesan yang saya tunggu namun tak kunjung muncul. Berakhir dengan membuka ruang obrolan kami dengan riwayat pembicaraan terakhir pada hari jumat seminggu yang lalu, sedangkan hari ini adalah hari minggu. Saya letakan ponsel kembali ke meja semula, kemudian berlari kearah dapur untuk memanjakan tenggorokkan yang seperti sudah tidak minum selama seminggu.
Saya lirik jam dinding yang berada tidak jauh dari tempat saya berdiri sekarang, pukul sepuluh lewat tujuh menit, manik mata terfokus oleh dentingan jarum jam yang bergerak melingkar setiap detik. Bersamaan dengan kejadian selama seminggu kemarin berlalu-lalang bagai film yang diputar di otak, membuat saya menarik nafas panjang dan menghelanya kemudian. Helaan itu tidak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian ponsel saya berdering.
Saya geser lambang berwarna hijau tanpa pikir dua kali lagi, belum sempat menyapa, suaranya dari seberang sukses membekukan sekujur tubuh.
"Hey, how are you? hm.. i don't know why i called you. But, when we see each other again?"
Tubuh saya masih mematung, bibir saya seketika kelu. Dan suaranya kembali mengunci saya lagi.
"No...nevermind, bye"
Dan sambungan itu terputus tanpa aba-aba atau balasan dari saya terlebih dahulu.
Orang yang sepenuh hati saya ingin lupakan baru saja kembali dan menyatakan rindunya. Cepat-cepat saya sambungkan lagi telpon kami. Baru kali ini saya merasa deringan diseberang telfon terasa sangat lama. Hingga di dering ke tiga ia mengangkat telfon saya.
"Are you in Singapore, now?"
"Guess where i am?"
"Jo, don't make a joke. You know my password"
"Isn't fair if i walk in with my benefits"
"Gimana aku bisa move on kalau kamu selalu begini?"
"Yaudah jangan move kalau gitu."
Singkat. Tapi cukup legit, kalimat barusan ada benarnya. Bukan saya yang tidak bisa move on. Tapi diri saya yang memilih untuk tidak pergi.
"Kamu lebih brengsek dari Nata ternyata"
"Aku gak main cewek kaya dia."
Lagi. Benar juga. Pikir saya dalam hati.
"Kamu mainin perasaan aku"
"Kamu yang mainin perasaan kamu sendiri. Aku tulus"
Bersamaan dengan terbukanya pintu apartemen saya,
"I hate you" pertama kali saya lontarkan kalimat kebencian pada sosok yang berada di hadapan saya ini.
"I missed you" Ujarnya masih menunduk lalu menatap saya dengan manik coklatnya, dalam.
"Happy birthday, dear" kata Jojo selanjutnya. Bahkan saya lupa jika sekarang hari lahir saya.
Jojo's never failed me, i swear i will fall again and again, if it's him.