Langit adalah semesta yang melindungi Mentari dan Senja serta menjaganya agar mereka tetap bersama, yang menciptakan altar bulan dan bintang serta angin yang meniup ombak samudera, Langit pemilik segalanya, tapi Langit tidak ingin segalanya ia hanya ingin Senja.
Langit cerita kepada mentari katanya dari semua senja yang pernah ia rasakan senja yang ini paling hangat, senja yang ini paling membuatnya bahagia, senja yang ini paling sederhana, senja yang ini membuatnya merindu hingga langit bergantung padanya. Mentari setuju, bahkan mentari hafal setiap inci tentang senja. Karena mentari bukan sekedar bergantung kepada senja seperti yang di lakukan langit, tetapi mentari mengerti senja.
Saya tidak berhenti menatap lurus atau sesekali berpindah kearah segelas kopi yang ada digenggaman, saya tidak mampu menatap matanya karena takut merindu. Sedangkan dia objek yang saya hindari bebas menatap saya, tertawa, tersenyum, bercerita tentang apapun yang sedang ada di dalam pikirannya. Saya merasa tercurangi, dia bisa bebas melakukan segalanya tanpa merasa ada batas, sedangkan saya terkunci oleh perasaan sendiri.
"Widya gak tau tentang kita, Nat?"
Gak ngerti dari semua kalimat yang mondar – mandir di kepala saya, kenapa saya memilih kalimat itu yang di jadikan pertanyaan dan terkesan menyedihkan.
Nata menghisap rokoknya lagi. Kemudian menghembuskan asapnya ke arah berlawanan agar tidak mengenai saya.
"Harusnya sih tau"
"Harusnya?"
"Gue banyak cerita tentang lo. Gue juga pernah ngebandingin dia sama lo. Harusnya sih dia tau kita gak cuma temen"
Saya tercengang, 1 detik... 2 detik... 3 detik. Kemudian tersadar kembali.
"Jangan gitu, Nat. Gue sama dia jelas beda"
Nata cuma mengangguk sambil menghisap rokoknya lagi.
"Dia sempurna, Nat. Harusnya lo bersyukur"
Niatnya saya ingin membuatnya nyaman dengan kalimat saya. Tapi malah jawaban dari Nata membuat saya mendadak tidak nyaman.
"Nyatanya gue gak butuh yang sempurna"
"Kalau lo gak butuh yang sempurna ngapain ngejalanin hubungan. Berhenti jadi bajingan lah, Nat. Cukup bajingannya ke gue aja jangan sama Widya, dia malaikat"
Kalimat yang baru saja saya ucapkan benar – benar dari hati. Tidak ingin munafik tapi benar ada sedikit kelegaan yang saya rasakan setelah tahu semua fakta yang di ucapkan Nata sebelumnya. Di sisi lain saya paling benci menjadi jahat, di sisi lain saya tidak suka menjadi peran apa yang saya mainkan disini dan saya benci sifat Nata yang selalu mengambil keputusan tanpa memikirkan hati dan pikirannya, keputusan itu menjalin hubungan dengan Widya.
"Maaf" kata Nata sambil berhenti menghisap rokok di yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya.
"Untuk apa?"Tanya saya
"Karna udah jadi bajingan buat lo"
Saya tersenyum kecut tapi dalam.
"Gue gak tahu alasan pasti gue ngelepas lo waktu itu. Gue bego banget"
"Apa yang kita punya cuma masa lalu, Nat. Gak sebanding dengan apa yang lo punya sekarang"
Kami terjebak lagi, di waktu yang sama, di situasi yang sama, pada orang yang sama, pada hati yang belum juga sembuh sejak pertama luka ini dibuat. Kami kembali lagi pada fase itu. Sudah berapa orang yang berlalu-lalang di antara kami tapi tidak satupun yang berhasil memecahkan momen ini, kami terkunci.
Lima belas menit yang lalu Nata membawa saya pergi keluar sebentar memisahkan diri kami dari keramaian distro yang baru saja di buka, sambil membawa dua gelas kopi, Nata dan saya yang awalnya ingin bercengkrama tentang hal ringan di bangku taman tidak jauh dari distro, untuk menghapus kecanggungan kami tapi malah menimbulkan situasi yang lebih dari canggung yang sejak dulu kami takuti, jauh sebelum saat ini, jauh sebelum kecanggungan ini tercipta.
"Lo masih sendiri?"
Saya mengangguk.
"Kenapa?"
"Ngelupain lo gak segampang yang Teta dan Meera bilang"
"Bajingan kaya gue harusnya gampang"
"Harusnya"
"Lo gak bisa lupain gue karna gue yang nolak pergi dari pikiran lo" jelasnya
"Lo gak bisa lupain gue karna hati lo masih terisi sama gue. Lo gak bisa lupain gue karna setiap kenangan yang kita buat bukan soal waktu, Ne" lanjutnya lagi.
Saya sedikit tertawa yang kemudian melontarkan kata "Sok tau" ke-arahnya.
"Karena gue juga gitu" ia mengakhiri kalimatnya.
Yang paling saya benci dari seorang Nata adalah ketika ia sudah menyesal dan sekarang ia sedang menyesal.
"Nat, 'kita' udah gak ada. Yang ada sekarang adalah lo dan gue. Bukan 'kita' "
"Gue sibuk bikin orang lain jadi diri lo. Sedangkan gue malah sia-siain diri lo yang sebenarnya. Gue bego"
"Kita sepakat gak akan kecewa satu sama lain. Kita udah dewasa, Nat"
Nata menahan emosinya menatap rintikkan hujan yang perlahan jatuh tepat di hadapan kami dan membawa keheningan rindu yang tak kunjung berakhir. Membawa udara dingin yang ikut melayang bersama kenangan masa lalu yang masih terekam jelas.
Dan senja berhenti mendekap mentari karena akan selalu ada langit yang membuat hujan turun, membuat senja tidak akan pernah mendekap mentari lagi. Membiarkan mentari tertelan udara dingin yang diciptakan hujan sendirian.