Aku memakan nasi uduk ku dengan lahap. Orang-orang di sekelilingku menatapku dengan tatapan aneh, yah karena aku makan dengan sedikit rakus. Makhlum, tadi habis lari keliling lapangan tigapuluh kali.
Kila datang dengan satu piring batagor. Kami sedang makan di warung yang ada di dekat sekolah.
"Eh! Hai bro! Gue duluan ya, William. Bye!", sahut anak lelaki yang tadi duduk di ujung warung.
Ish! Kenapa harus ada dia disini?!?
Kila menyadari keberadaan William, dia langsung berdeham. Aku tak menghiraukannya. Lalu Kila menginjak kaki ku dengan kencang.
Aw!
"Taik kuda, lu.", katakku dengan nada pelan yang hanya bisa didengar Kila. Kila hanya menyengir.
Begitu aku melihat William berjalan dekat kearahku, alias ingin memesan makanan, karena aku duduk lumayan dekat dengan gerobak penjual batagor, aku langsung menurunkan poni ku yang panjang agar wajahku tidak terlalu terlihat.
"Anjir. Lo udah kayak kuntilanak, Nam.", bisik Kila sambil menahan tawanya.
"Dua bungkus ya, mbak.", William sedang memesan makanan, lalu dia berbalik menghadapku.
"Nam?".
Dih, ketahuan deh.
Aku menjepit poniku di atas telinga dan memasang senyuman.
"Eh, ada Kila juga.", kata William, lagi sok berbasa-basi.
"Hai, Will.", sapa Kila.
Tiba-tiba, ada seperti senyuman licik dari wajah Kila.
"Eh, duduk sini.", tawar Kila.
Eh, taik. Ngapain lo, Kil.
"Hehehe.. Gak usah. Ini batagornya udah mau selesai.", tolak William.
Nah, gitu dong. Thanks, Will.
"Bentar doang elah. Duduk doang.", Kila seakan-akan memaksa nya untuk duduk dengan kami.
Kila, habis ini lo bakal kehilangan kaki.
"Hahaha.. Ya udah.", jawab William. Lalu dia duduk disamping Kila, tetapi berhadapan denganku.
"Ih. Nam sekarang sombong.", kata William.
"Apaan, Will? Gue lagi makan juga.", jawabku sinis.
"Udah lama gak ketemu. Bagaimana kabar lo? Maaf yah, gue gak pernah nge-Line, gue lost contact lu.", kata William.
Lost contact? Pantesan. Pantesan setiap gue Line, gak pernah kekirim.
"Kabar gue? Baik kok.", jawabku.
"Nih, batagor nya mas.", kata mbak-mbak penjual batagor sambil memberikan plastik berisi dua bungkus batagor kepada William.
"Oh. Iya, terima kasih ya mbak.", lalu William pergi.
Aku menjambak poni Kila kencang.
"Ah! Sakit Nam! Gila lu!".
Lalu sesudah aku merasa puas dengan rasa geramku, aku melepaskannya.
"Bangke! Botak poni gue!".
"Gak apa-apa, jadi lebih cantik kok.".
"Idih. Napa lu?".
"Dih, sok gak tahu lagi! Ngapain lu suruh William duduk bareng kita. Ih. Kesel ah.", jawabku dengan raut wajah yang SANGAT kesal, agar Kila tahu betapa marahnya aku.
"Ya ampuuun. Biasa aja kali, Nam. Lagian William gak ada nanya yang aneh-aneh? Baperan amat sih, Nam. Apa jangan-jangan lu masih suka ama dia?", pertanyaan Kila membuatku sedikit bimbang.
Gue suka dia? Hmmm... KAGAK!
"Enggak, Kil. Gue gak suka dia. Tapi, gimana yah. Susah dijelasin ah!".
Kila hanya terkekeh pelan.
***
Aku menghepaskan tubuhku dengan kasar keatas kasurku yang sangat empuk. Aku lelah. Akibat hukuman dari Pak Agung yang tidak masuk akal itu. Gila. Enak banget tinggal menyuruh murid lari lapangan sekolah sekenanya.
Tapi lupakan. Ah. Aku lebih ingin memikirkan perasaanku kepada William. Jujur saja, aku rasa aku tidak menyukainya lagi. Karena, masa lalu biarlah masa lalu. Walau, saat aku harus berpindah dari Malang ke Jakarta, berpisah dengan William, memang satu hal yang sangat terberat untuk dilakukan. Tapi, aku sudah terbiasa, kini, aku merasa, aku sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi dengan William. Baguslah. Karena, sekarang, aku menyukai Erik. Si AC, si Es. Yang sikapnya dingin, aneh, suka marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold As Ice
Novela JuvenilSeorang gadis yang menaruh perasaan kepada seorang lelaki dingin di sekolahnya secara diam-diam. Seperti labirin, membuat gadis itu terus mencari cara untuk menuju hati seorang lelaki itu. Disaat ia kira perjuangannya itu sia-sia, ia mendapatkan seb...