26

8K 386 15
                                    

Gema suara bel sekolah terdengar di lorong sekolah. Membuatku yang tadi sedang asyik mengobrol dengan Kila, langsung terlonjak kaget.

"Gila ih. Bel sekolahnya harus begitu, ya? Napa gak bel nya tuh digantikan jadi suara lagu? Kan lebih seru.", cibirku.

"Kan ini bel sekolah, Nam. Bukan ringtone.", kekeh Kila. Spontan, membuatku tertawa kecil. Karena perkataan Kila tadi ada benarnya.

"Yaaah... Besok lu pindah.", kata Kila dengan nada sendu.

"Iya. Maaf, ya. Sini peluk gue, Kil.". Aku dan Kila pun berpelukan.

"Belum siap gue, Nam.", rengek Kila.

"Sama. Gue juga. Malah, gue gak siap-siap sama sekali. Mau tetap disini. Gak mau beranjak dari negeri ini. TITIK!", kataku.

"Ntar dihajar sama bokap loh.", kata Kila.

"Oh iya.".

"Jadi, gimana?", tanya Kila.

"Hah?".

"Bagaimana, lo sama Erik. Ada sesuatu, gak?", kata Kila dengan nada lebay.

"Idih. Syahrini banget deh.", cibirku.

"Eh! Guru udah datang! Baris kedepan! Malah ngobrol!", perintah Daffa kasar dari depan pintu kelas.

***

"Nam, belom pulang?".

Aku menoleh dan melihat Erik dengan motornya. Erik melepaskan helm-nya.

"Pulang sama gue aja.", ajak Erik.

"Eh? Gak apa-apa. Gue tunggu angkot aja.", tolakku.

"Eh! Besok lo pindah! Jangan sia-siakan waktu gue. Buru!", paksa Erik.

Entah mengapa, walau Erik memaksanya untuk mengantarku pulang, justru perkataan Erik lebih seperti ingin menghabiskan banyak waktu denganku. Hehehe...

Akhirnya aku dan Erik sudah sampai dirumahku. Aku melihat ada orang tua ku yang sedang merapikan isi rumah, aku bisa melihatnya karena pintu rumah kebuka. Aku masih tidak menyangka. Aku belum siap untuk pindah. Besok. BESOK! Aku menggelengkan kepalaku, takut untuk menerima kenyataan bahwa aku akan meninggalkan semua hal menyenangkan yang pernah terjadi disini.

"Turun!".

Bentakan Erik membangunkan ku dari lamunan.

"Nam. Udah pulang. Siapa nih?", tanya mama sambil tersenyum kearah Erik.

"Erik, tante.", Erik menyium punggung tangan mamaku.

"Ih. Pacar?", celetuk mama begitu saja.

"Dih. Mama kok ngomong asal celetuk begitu sih.", cibirku. Mama hanya membalas cibiranku dengan tertawa geli. Membuat Erik ikutan tertawa geli.

Aku melihat, papa diruang tamu sedang membaca koran. Melirik kearahku sekilas dengan tatapan tajam. Ah, dia tidak peduli denganku. Jadi, tidak heran jika dia tidak menyapaku. Mama balik kedalam rumah, membersihkan isi rumah.

Tiba-tiba, Erik menarik tanganku dan membawaku menuju halaman belakang.

"Besok, beneran, lo, bakal, pindah?", Erik sengaja bicara dengan terbatah-batah.

Aku mengangguk pelan.

Erik mengacak rambutnya frustasi lalu memijit keningnya.

"Maaf, Rik.", lirihku. Tanpa kusadari, aku menangis.

"Tidak! Jangan nangis, Nam.", kata Erik sambil mengelus rambutku pelan.

Aku menenggelamkan diriku didalam pelukan Erik. Aku memeluknya erat. Aku merasakan tangan Erik yang mengepalku dengan kuat juga. Erik sangat tinggi. Dan tentu, kepalaku tersender di dada bidang Erik. Aku mendengar degupan jantung Erik yang berdegup tidak teratur. Membuatku yakin, Erik merasakan hal yang sama.

"Nam.", panggil Erik.

Tangan Erik merenggang, merenggangkan sedikit agar aku bisa mendongakkan kepalaku kearah Erik.

Erik menatap kebawah.

"Eh. Tunggu sini.", kata Erik yang seperti baru saja mengingat sesuatu. Lalu dia pergi menuju motornya. Lalu mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya itu. Sebuah buku hitam. Tidak terlalu tebal, tidak terlalu tipis.

"Apaan ini?", tanyaku.

"Buku. Cover-nya memang hitam, tapi isinya berwarna kok.", ucap Erik sembari tidak bisa berhenti tersenyum.

Aku mengambil buku itu lalu ingin membukanya, lalu,

"Jangan! Jangan dibuka! Bukanya pas lu udah di Australia.", kata Erik.

Aku melongo. "Kenapa?".

"Secret. Dan, didalam buku ini, ada semua jawaban dari semua pertanyaan lu.", kata Erik sambil mengerlingkan matanya.

Entah aku mendapat ide dari mana, sihir dari mana, bisikan setan dari mana, tapi aku langsung mengecup pipi kanan Erik sekilas.

Ah... Pipiku bersemu merah. Aku malu! Rasa panas menjalar membakar pipiku. Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa melakukan hal itu. Aku langsung menunduk malu sambil mengusap pipiku yang aku rasa sangat memanas.

"Jangan nunduk. Natap gue sini.", kata Erik dengan nada sinis dan dinginnya.

Shit!

Sudah kuduga, hal yang barusan aku lakukan sangat bodoh!

Aku mendongakkan kepalaku perlahan-lahan. Lalu Erik mencium bibirku! Ciuman yang hanya dalam seperkian detik. Bahkan, ciuman itu seperti sambaran petir, sangat cepat, secepat kilat, bahkan tidak menyadarinya bahwa hal itu baru saja terjadi.

Aku memberikannya tatapan melongo.

"Kalo masih bengong gitu, gue cium lagi nih.", kata Erik.

Yah.. Seperti kaca pecah, suara pecahannya yang mengagetkan membuatku terbangun dari lamunan ku lagi.

Eh? Dicium lagi? Boleh tuh, batinku.

"Udah ya. Gue pulang. Hati-hati disana.", lalu Erik pergi begitu saja. Aku tidak bisa menghentikan langkahnya. Dia sudah berjalan, menuju motornya. Penampilannya yang berantakan, masih memakai seragam putih abu-abu, begitu juga denganku, kami masih memakai seragam. Indahnya cinta kisah putih abu-abu.

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang