30

8K 386 8
                                    

Tepukan lembut di pipi membuat mataku terbuka perlahan. Siluet mama terlihat samar di gelapnya ruangan. Barulah ketika mama menyalakan lampu kamar, wajah mama yang bersinar terlihat jelas oleh aku.

"Bangun, Nam. Ke dapur, cepetan.", kata mama.

Aku menguap. Magnet terkuat didunia adalah kasur dan tubuhmu. Dan kini, tubuhku sudah menempel dengan kasurku. Tidak ada yang bisa memaksa aku untuk turun dari selimut lembut nan hangat dan kasur empuk.

"Mama bikinin sarapan kesukaan kamu. Pisang goreng pakai susu kental manis dan ditaburi butiran coklat.", kata mama dengan nada sangat lembut didengar saat pagi hari yang cerah ini.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Membayangkan makanan enak itu dipikiranku. Tapi tubuhku masih enggan untuk berpisah dengan kasur. Aku masih memeluk selimut ku erat.

"Ada Erik didepan.", ucap mama dengan nada datar.

Sontak, aku turun dari kasur secepat mungkin lalu pergi menuju kamar mandi.

***

Sesudah aku memakai seragam sekolah Green Whale Reich Senior High School. Kemeja putih lengan panjang, dengan dasi berwarna hijau yang ada gambar lambang sekolah, lalu rok 5 cm dibawah lutut yang bermotif kotak-kotak berwarna hijau merah, plus kaos kaki putih sepanjang 5 cm dengan sepatu kets hitam.

"Jadi, ini toh yang namanya Erik?", kata mama begitu aku sudah duduk di meja makan.

Erik yang sedang duduk di sofa sambil menemani papa nonton berita di TV, hanya mengangguk pelan kearah mama.

"Ganteng juga, ya.", celetuk mama.

Astaga, maaamaaa.

"Kan mama udah pernah ketemu sama Erik pas sebelum pindah ke Australia.", kataku.

"Masa? Kok mama gak inget?", tanya mama.

"Efek umur, sih.", gumamku pelan.

"Erik.", panggil mama.

Erik pun menengok kebelakang, dan menjawab, "Ya, tan?".

"Nam suka cerita tentang kamu, loh. Makanya tante tahu tentang kamu.", kata mama.

Tuh kan, mama mulai lagi nih sarapnya.

"Oh, ya?", tanya Erik tak percaya.

"Ah! Lagian mama kok yang maksa aku untuk cerita tentang Erik.", timpalku langsung.

"Gak usah salting gitu dong, Nam.", kata mama sembari menaruh piring berisi lasagna dihadapanku.

Oh jadi ceritanya mama udah gaul ya pakai 'salting-saltingan' segala.

"Tuh kan, Nam nya diam. Berarti dia memang salting, Rik.", ucap mama lagi yang membuatku hampir tersedak oleh makanan.

"Au ah.", gumamku.

***

Aku dan Erik menaik bis menuju sekolah. Bis di Australia sangat bersih, nyaman, berbeda dengan bis yang ada di Indonesia. Ya iyalah.

"Lu tahu jalannya ke sekolah?", tanya Erik membuka pembicaraan.

"Yah tahu lah! Kan gue sudah officially warga Australia.", ucapku dengan angkuh.

Erik hanya memutarkan bola matanya malas dan berhasil membuatku tertawa geli melihat ekspresinya.

Sesampainya disekolah.

"Pertukaran pelajar selesainya besok. Dan berarti besok lu balik ke Indonesia lagi?", tanyaku kepada Erik.

"Iya.", jawabnya singkat.

Nih anak kadang dingin, kadang minta di ketok kepalanya.

***

"So, I'll be heading back to Indonesia tomorrow. And today is our last day together.", ucap Erik.

Kami sedang duduk di taman sekolah Green Whale Reich Senior High School. Taman disini sangat nyaman dan cocok untuk berpacaran. Eh? Lupakan.

Angin yang cukup kencang membuat beberapa helaian rambutku tersibak angin, membuat Erik tertegun melihat wajahku.

Aku pun menoleh saat Erik sedang sibuk menatap kecantikanku.

Dasar Nam lebay.

"Anginnya tumben kencang banget hari ini.", kataku sambil memperhatikan rambut Erik yang juga ikut melambai terbawa angin.

Yang tentu saja menambah ketampanannya secara drastis.

"Hm.".

"Jawabnya singkat amat, mas.", kataku sedikit kesal.

"Kita kan baru temenan.", jawab Erik dengan kalem, yang membuatku sedikit termangu mendengar perkataan Erik tadi. Butuh waktu lama untuk aku mencerna kalimat Erik.

Wait.

"Jadi kalo misalnya kita pacaran, lo jawabnya gak bakal singkat-singkat? Sifat dingin lu hilang? Dan lo gak bakal galakin gue lagi?", tanyaku bertubi-tubi tak sabar menunggu jawabannya.

"Gak tahu.", jawabnya.

Aku mendengus dan menatapnya jengkel. Benar-benar menyebalkan kalau bicara dengan seseorang yang memiliki pribadi sedingin es.

"Lo yang ngomong masa gak tahu?", tanyaku kesal.

"Jadi sekarang lo mau gue nembak lo gitu? Lo ngode ke gue?", tanya Erik dengan alis bertaut.

"Ha? Setahu gue tadi yang ngode duluan elu deh.", kataku.

"Ya udah. Pacaran yuk.".

"Pacaran yuk"?

Aku menoleh dan melihat Erik menatapku datar, menunggu jawabanku. Entah itu ajakan, atau pemaksaan? HAHAHA.. Entahlah.

"Pacaran yuk.", ulang Erik.

Dan aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Erik!

"Trederick Wienz mau pacaran sama Namesta Devisolia.", ulang Erik kali ini dengan SANGAT jelas.

Tatapan Erik yang membuat jantung aku berpacu dengan sangat cepat.

Lalu, aku tersenyum lebar. "Yuk.".

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang