17

9.5K 478 1
                                    

Tiada lagi yang bisa kuungkapkan untukmu selain rasa cinta yang berkobar, yang panasnya tak membakar, bahkan mampu menyejukkan hati.

Tiada lagi yang bisa kuungkapkan untukmu selain rasa cinta yang berkobar, yang panasnya tak membakar, bahkan mampu menyejukkan hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William bangkit dari teras yang ada di aula, sembari memegang kapas yang ada dihidungnya. Untung saja, ada beberapa kakak kelas yang bertugas di aula, dan segera membantu William yang hidungnya sedari tadi tidak berhenti mengeluarkan tetesan darah.

"Jangan digoyangin terus hidungnya! Ntar makin patah aja, baru tahu rasa lo.", ucapku geram karena William tidak bisa berhenti menggoyang-goyangkan hidungnya yang tulangnya kini sangat rapuh, dan harus dijaga agar tulang hidungnya tidak semakin rapuh.

"Bodo ah. Sakit, jir.", cibirnya.

"Kalau lu goyangin hidungnya sekali lagi, gue patahin hidung lu sekalian.", ancamku sambil menampilkan pelototan tajam kearahnya.

"Ya udah. Gue ke tenda yah. Sejam lagi mau acara jurit malam. Kita harus berkumpul sama regu kita.", lalu William pergi begitu saja.

Makasih, Nam, karena sudah nolongin gue. Baik deh lo, Nam.

"Oh iya. Terima kasih, Nam paling baik deh.", kata William dengan lebay sambil mengedipkan sebelah matanya dan mengangkatkan sebelah kakinya juga berbarengan.

"Geli, Will.", cibirku. Dan dia hanya tertawa geli.

Aku menuju tendaku dan berkumpul dengan reguku. Senang sekali, karena Kila satu regu dan satu tenda denganku. Setidaknya aku ada teman untuk menemaniku.

"Nam, regu kita kekurangan senter. Tolong ambilin satu senter di meja kayu yang di aula.", pinta Kila.

"Yang mana? Meja kayunya banyak.".

"Aduh, Nam! Cari aja deh!".

Aku terkekeh pelan. Aku menuju aula untuk mencari senter.

Erik disana.

Aku melewati Erik, Erik melewatiku. Seperti tidak terjadi apa-apa. Aku heran. Ada apa sih?

"Rik.", aku memanggilnya.

Erik terdiam. Dan menoleh kebelakang sebentar, dan melanjutkan langkahnya kedepan.

Aku berlari menujunya. Dan menyamakan jarak ku dengannya.

"Kak. Dengerin aku dong.", kataku dengan nada lembut.

Erik masih tidak mempedulikan aku. Aku hanya ingin berdamai dengannya, karena aku sudah membentaknya, dan aku merasa bersalah.

Erik berjalan terus melewati aula besar, dan menuju kegelapan. Awalnya aku ragu, tapi aku terus mengikutinya. Akhirnya kami sampai di suatu pohon besar yang sangat rimbun. Dan dibawahnya tepat sekali ada kursi kayu yang panjang. Erik duduk disana. Aku mengikutinya, aku juga duduk, disampingnya. Erik mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, mataku membulat.

Erik ngerokok?

Erik menyalakan rokoknya dan memulai meniup, dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Kak.", panggilku, lagi.

"Apa?", jawabnya dengan suara beratnya yang terdengar sinis.

"Lo ngerokok?" tanyaku dengan ragu. Takut jika dia tersinggung.

"Menurut lo?", dia tanya balik.

Oke sip. Gue yang bego.

"Hehehe... Maaf. Iya, kamu ngerokok. Tapi udah sejak kapan?".

"Tahun lalu.", jawabnya singkat.

"Kak.", panggilku, lagi, dan lagi.

"Lagi acara jurit malam, pergi sono.", dia malah mengusirku.

"Lah, tugas lo juga kan? Lo harus disana ikut acara jurit malam, untuk nakut-nakutin adik kelas. Lo juga kesana dong.", kataku dengan nada lantang. Emang tempat camping ini milik nenek moyangnya? Seenaknya mengatur-atur orang.

"Berisik.", cibirnya lalu balik menghembus asap rokoknya itu. Beberapa kali dia menggoyangkan batang rokoknya agar bubuk-bubuk rokok itu berjatuhan ketanah.

"Kak.", panggilku, lagi, lagi, ah.. Maafkan aku Erik jika aku membuatmu sedikit kesal.

"Apaan sih?!? Ngomong aja! Gak usah banyak bacotnya!", bentaknya.

Entah mengapa, aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis, tapi yang aku tahu, aku sedih. Sedih karena, sikapnya dia. Mengapa dia dingin? Jahat? Entahlah. Aku sedih saja. Padahal, aku yakin, sosok dia yang hangat, pasti ada didalam dirinya. Apalagi, saat dia menggendongku ke UKS, dan sesekali aku pernah melihatnya tersenyum. Aku yakin, sesuatu yang traumatis pernah terjadi di masa lalu nya sehingga membuatnya bersikap seperti itu. Dan sekali lagi, entah mengapa, sifat 'kepo' ku ini yang sudah kelewatan, membuatku ingin mencari keping-keping yang hilang, agar aku bisa menyatukannya seperti puzzle dan jadilah suatu karya yang indah, yaitu sifat asli Erik.

"Maaf, kak.", lirihku. Isakan tangisanku tak bisa aku tahankan.

Erik langsung menjatuhkan batang rokoknya dan menginjaknya. Dia langsung berdiri, dan berjongkok, agar menyamakan tingginya dengan aku yang sedang duduk.

Kedua tangannya memegang kedua tanganku juga. Terasa hangat. Dia seperti mentransfer kehangatan ke aku. Aku merasa, nyaman, setiap dekat dengannya. Sentuhannya juga, tak kalah dengan sentuhan yang pernah aku rasakan dengan William, malah, sentuhan Erik mengalahkan sensasinya dari sentuhan William.

"Plis, gue mohon, jangan nangis, karena setiap lo nangis, setiap lo sedih, otomatis, gue juga keikutan sedih.", kata Erik, nada bicaranya sangat halus, berbeda sekali dengan nada nya barusan yang terkesan dingin, sinis, dan galak.

Aku terkesima. Perkataan Erik, membuatku malu. Aku menunduk. Tapi,

"Kenapa? Kenapa kalau gue sedih, lo sedih. Emang gue siapa nya elo?", aku bertanya sembari melawan isakan tangisanku.

"Karena...", dia menghela napasnya sebentar, dan melanjutkan. "Gue juga gak tahu kenapa alasannya, Nam.", katanya dengan nada terdengar sendu.

Erik berjalan begitu saja, meninggalkan ku dibawah pohon besar beserta ditemani hembusan angin yang terlalu kuat untuk dilawan, dan meninggalkan ku dengan tanda tanya besar di benakku.

Erik suka gue?, aku membatin dalam hati, dan tanpa kusadari, senyuman tersungging dibibirku.

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang