Hari ini, ada latihan drama. Aku akan menjadi tokoh utama dalam drama tersebut. Drama ini adalah tugas yang diberikan oleh Mis Mary, guru Seni Budaya. Setiap kelompok berisi sepuluh orang. Dan dikelompok ku, drama yang akan kami tampilkan adalah cerita dongeng klasik, Cinderella. Dan yap, aku akan menjadi Cinderella-nya. Sayangnya, aku tidak sekelompok dengan Kila.
Saat latihan drama, kami benar-benar membutuhkan orang yang ahli make up. Karena, perempuan-perempuan yang ada dikelompokku, termasuk diriku sendiri, tidak bisa make up sama sekali. Aku pakai bedak saja masih cemong-cemong. Dan sayangnya, Mis Mary tak mengizinkan kami untuk meminta bantuan dari kelompok lain, padahal, di kelompok Kila, ada Maya, dia ahli berdandan. Bahkan, dia mengikuti les make up bersama kakak perempuannya.
"Gue punya ide!", sahut Tasya, dia sekelompok denganku.
"Ide apaan?", tanya Brian, dia adalah teman sekelompokku juga.
Kelompokku sedang berdiskusi mengenai drama kami di sebuah labotarium kosong.
"Gue kenal kakak kelas, dia jago make up, bahkan lebih jago dari pada Maya. Percaya deh.", kata Tasya dengan bangga.
"Siapa?", tanyaku.
"Namanya Pina. Dia kelas sebelas. Gue kenal dia kok. Gue lumayan dekat sama dia. Ntar gue panggil dia, biar dia bisa bantuin kelompok kita dengan masalah dandan-dandan, pakaian, gitu-gitulah.", jawab Tasya.
"Ya udah. Gue setuju. Habisnya, kak Pina cantik.", ucap Adam dengan genit.
"Dasar! Gak usah gatel sama kakak kelas.", kata Brian sambil menjitak kepala Adam.
Dua minggu berlalu, hari ini adalah hari H-nya. Hari dimana kelasku akan menampilkan drama nya. Mengejutkan sekali, karena kelompokku akan tampil yang pertama.
"Tasya mana sih? Kok gak ada?", tanya Silvia, teman sekelompokku juga.
"Dia kan lagi panggil kak Pina.", jawabku.
Suasana kelompokku sudah dipenuhi dengan aura-aura panik. Karena, Tasya dan Pina belum datang juga. Kami takut jika berdandan, berpakaian, dan hal lainnya, akan mengambil banyak waktu sehingga kami tidak akan punya cukup waktu untuk semua itu sebelum kami tampil.
Dan, akhirnya, Tasya berlari sambil menggandeng tangan Pina.
"Cepetan, kak!", kata Tasya kepada Pina.
"Hah? Lo adiknya kak Pina?", tanya Brian.
"Hehehe.. Iya.", jawab Tasya.
"Ck. Pantesan.", cibir Brian.
Tiba-tiba, hampir semua murid angkatan kelas sebelas datang.
Apa-apaan ini?, batinku. Karena aku melihat Erik, dengan kamera Nikon-nya."Lah? Itu kenapa kakak-kakak kelas pada kesini?", tanya Silvia.
"Kata Mis Mary, kalo drama, harus ada penontonnya, maka itu Mis Mary panggil semua kelas sebelas untuk datang isiin drama.", jelas Keisha, dia adalah ketua dalam kelompok dramaku.
"Aaaah! Mana bisa! Ntar gue malu kalau dilihat kakak kelas yang ganteng-ganteng.", kata Silvia dengan genit.
"Kalo gue mah biasa aja. Malah seneng, biar cewek-cewek angkatan atas pada ngeliatin gue dan nyadar kalo gue itu ganteng abis!", kata Adam lebih genit.
"Astagfirullah.", kata Tasya sambil mengelus dadanya begitu dia melihat kelakukan Silvia dan Adam yang kocaknya minta ampun.
Pina memulai mendandani semua anggota kelompokku, kecuali Alvin, dia adalah narator dalam drama kelompok kami, dan dia tidak akan terlihat di panggung, suaranya lah yang akan berperan penting dalam drama kami.
Kelompokku begitu heboh di backstage, dan.. Dalam diriku lebih heboh lagi begitu aku melihat Erik datang ke backstage sambil memotret-motret suasana kelompokku dengan kameranya.
Akhirnya, Pina selesai mendandani ku. Aku merasa, hmmm.. Cantik? Entahlah, intinya, aku salut dengan bakat make up yang dimiliki Pina.
"Iiih.. Cinderella nya cantiiik!", puji Silvia.
"Cantik bener!", kata Adam.
"Gila! Nam jadi kelihatan beda banget. Harusnya ada foto before dan after-nya. Hahaha...", canda Tasya.
"Iya dong. Siapa dulu yang dandan.", Pina memuji dirinya sendiri.
Erik datang kearahku. Dan memotretku. Jujur saja, aku merasaaa, masih malu, walau penampilanku sudah berbeda.
"Lo ngapain sih, Rik? Tumben moto-moto.", tanya Pina ke Erik.
"Mis Mary suruh gue yang jadi fotografer. Gue disuruh yang foto-foto drama, sama keadaan backstage-nya. Ntar foto-fotonya mau disimpan Mis Mary untuk jadi kenang-kenangannya.", jelas Erik.
"Oh gitu. Lu lihat si Nam. Cantik kan? Oh jelas, kan gue yang dandanin.", kata Pina sambil menunjuk kearahku.
Aku hanya malu-malu mendengar perkataan Pina.
"Eh! Erik ih! Kalo ditanya tuh jawab dong!", bentak Pina.
"Apaan?", tanya Erik.
"Itu! Lihat hasil karya gue! Cantik kan! Nama dia Nam, eh, bener kan? Nama kamu Nam?", tanya Pina.
"Iya, kak. Namaku Nam.", jawabku yang masih malu-malu.
"Hmmm... Biasa aja. Kelihatan nya sama aja.", jawab Erik.
"Apa nya yang sama?", tanya Pina.
"Itu. Penampilannya sama aja kayak sebelumnya.", kata Erik, lalu dia memotretku dengan Pina sekali lagi lalu pergi.
"Biasa aja", "Sama aja kayak sebelumnya". Bilang aja gue "jelek"! Bilang aja kalau males muji gue! Huh!, batinku. Aku kesal, sekaligus sedih. Sudahlah, tak usah dipikirkan."Jih. Si Erik nyebelin! Udah jelas kamu kelihatan cantiiik.", kata Pina sambil mengerlingkan matanya.
"Hahaha.. Iya, makasih. Thanks, ya. Makasih udah mau bantuin kelompok aku. Kak Pina memang jago kalo masalah make up dan fashion.", pujiku kepada Pina.
"Sama-sama, Nam. Dah, kamu buruan siap-siap untuk tampil drama kamu.", kata Pina sembari merapikan alat make up-nya.
Aku menuju kelompokku. Kami siap!
Selama aku tampil, aku tidak bisa berhenti melirik kearah Erik yang fokus dengan kameranya. Mengapa dia tidak meletakkan saja kameranya dan melihat hasil kerja keras kelompokku!
Drama kelompokku pun selesai, orang-orang bertepuk tangan dengan meriah.
Tapi, aku tidak begitu senang. Karena, yah.. Erik. Aku tidak suka dengan sikapnya hari ini.
He's cold. So cold. Why is he acting like that? What's wrong with him? I wish I knew.
a/n:
Penasaran sama Erik? Coba cek di multimedia deeeh. Wkwkwk..
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold As Ice
Novela JuvenilSeorang gadis yang menaruh perasaan kepada seorang lelaki dingin di sekolahnya secara diam-diam. Seperti labirin, membuat gadis itu terus mencari cara untuk menuju hati seorang lelaki itu. Disaat ia kira perjuangannya itu sia-sia, ia mendapatkan seb...