Akhirnya, boots berbahan kulit berwarna cokelat milik mama aku bisa kupakai juga setelah sekian lama tersimpan didalam kotak kardus. Rambutku yang panjangnya sebahu kusisir lagi dan lagi, ini adalah kali kesepuluh aku menyisir rambutku dengan sisir, dan entah keberapa kalinya dengan jemariku. Aku yang tidak pandai make up pun hanya memakai bedak, dan itupun bedak yang diwajahku masih cemong-cemong. Namun tangan mama aku yang meratakan bedak diwajahku menjadi penolongku hari ini. Begitu juga dengan parfum mama yang membuatku menjadi sewangi bunga Lily.
Setelah berlama-lama berdandan, akhirnya bibirku hanya kububuhi dengan lipgloss rasa melon. Aku kembali bercermin di cermin yang dipasang di pintu lemari. Rasanya penampilanku sudah cukup untuk kencan yang pertama kalinya dengan Erik saat dua tahun lamanya berpisah.
Oke! Aku sudah siap untuk kencan kedua dengan Erik untuk sekian lamanya!
Kuhembuskan napasku keras-keras untuk kembali fokus merapikan poniku yang miring. Aku tersentak ketika HP ku berdering. Sebuah pesan dari Line kuterima.
Erik : Gue udah nunggu 15 menit didepan rumah lu.
Aku melongok ke jendela dan melihat Erik duduk di atas sepeda sambil melipat tangannya. Erik terlihat sangat ganteng dengan kaus hitam dipadu kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana jeans hitam. Dia juga mengenakan hi top sneakers yang terlihat kebesaran dikakinya.
Aku cepat-cepat meraih tas kecilku di meja belajar dan berlari keluar dari apartemen.
"Hai!", sapaku.
Erik menoleh kearahku, ekspresi wajahnya datar.
Oke. Canggung. Tengkukku terasa gatal.
"Bengong terus! Cepetan naik!", perintahnya.
***
Erik mengayuh sepedanya menuju arah pantai. Mobil-mobil memenuhi parkiran yang ada disekitar sana.
"Kita dimana, Rik?", tanyaku.
"Diam, dong.", jawabnya dingin.
Sifatnya yang dingin ditambah udara malam yang dingin dipantai, menjadikan suasana menjadi sangat super dingin!
Kami berhenti didekat pintu masuk pantai itu.
"Astagaaa! Pemandangan pantai di malam hari ternyata amazing banget!", ucapku dengan mata berbinar-binar.
Pantainya dihiasi lampu-lampu, dan berbagai dekorasi lainnya yang membuat pantai di malam hari terasa seperti di dunia magikal.
Aku tidak pernah tahu rasanya sesenang ini berjalan bersama Erik di pantai saat malam hari. Kami berjalan sesuai arah lampu yang tergeletak di sekitar bibir pantai. Sangat ROMANTIS! Ingin berteriak, tapi malu.
Lalu akhirnya aku dan Erik duduk di sebuah restoran. Erik yang traktir, jadi aku bisa pesan apa saja yang mahal. Hehehe...
"Oh ya, this is for you.", kata Erik lalu mengeluarkan sebuket bunga Lily dari tas yang dia bawa.
"Thank you so much. Gue suka.", kataku dengan sedikit malu lalu mengambil bunga itu dari tangan Erik.
"Suka? Suka sama semuanya?", tanya Erik.
"Ya. Gue suka semuanya. It's a perfect date.".
"Are you happy?".
"Ya iyalah! Gue seneng banget malah! Akhirnya diajak jalan sama cowok setelah nunggu lama dan bete di apartemen. Tahu nggak sih, Rik, gue bisa mati kebosanan menunggu lu, Rik.", lalu aku pun memeluk Erik erat.
"Oke, stop. Gak usah pakai acara peluk-pelukan.", desis Erik.
Bagai tersambar petir, aku langsung melepas pelukannya dari Erik.
"Makan makanannya.", ucap Erik dingin.
Nih anak jadi dingin lagiii...
***
Sesudah menikmati makan malam, aku dan Erik pun ingin berbincang-bincang.
"Rik, kenapa lu bisa di Australia lagi?", tanyaku, membuka pembicaraan.
"Dapat beasiswa.".
"Kuliah disini?".
Erik mengangguk.
"Gue masih kelas duabelas. Bentar lagi gue lulus, and then kuliah deeeh.", kataku.
"Iya. Waktu berlalu dengan sangat cepat, ya?".
Aku terkekeh pelan. "Well, bagi gue sih waktu berlalu sangat lambat selama lu gak ada di kehidupan gue. Bagi gue, waktu seperti berhenti sejak gue kehilangan lu. Dan gak nyangka aja bisa ketemu sama lu lagi disini setelah menunggu dua tahun.", jelasku panjang.
"Maafin gue, ya. Semua ini salah gue.", kata Erik.
Lalu aku menatap manik matanya lekat-lekat sembari menampilkan senyuman manisku. "Ini bukan salah lu kok. Justru gue senang karena ini terjadi.".
Erik mengernyitkan keningnya.
"Karena setiap lo pergi, pasti lo datang dengan tidak terduga. Lu itu benar-benar surprise.", kekehku.
Erik ikut terkekeh pelan.
"Jadi, kita masih jadian gak, sih?", tanyaku dengan alis bertaut.
Erik dengan wajah pura-pura terkejut lantas menyahut, "Kita emang pernah jadian?".
"Eriiiik!".
Tawa Erik meluncur dari mulutnya saat melihatku keki ditempat. Membuat nyaris seluruh perhatian berada pada kami.
Lalu tawa Erik mereda, dan seperti kilat, Erik memasang wajah datar dan cueknya dengan cepat, dan berdeham.
"Nam.".
"Apa?".
"Seminggu lagi lo ulang tahun, kan? Ulang tahun yang ke delapanbelas?", tanya Erik.
Aku mengangguk. "Beliin kado.".
"Kadonya dicium aja, ya?".
Sontak pipiku bersemu merah. Aku langsung menutupi pipiku dengan tanganku.
Sejurus kemudian, Erik meletakkan telapak tangannya di atas punggung tanganku, meremasnya, menggenggamnya, lalu menariknya dan menaruh telapak tangan kecilku tepat di dada kirinya.
"Rasain kan? Itu detak jantung gue setiap bersama lu.", ucap Erik dengan sangat lembut.
Irama detak jantung Erik begitu jelas dirasakan olehku. Jantung itu berpacu cepat bersama denting waktu.
"I love you, Nam.".
Aku tersenyum lebar. Erik juga ikut tersenyum. Senyuman Erik begitu lebar hingga matanya mengecil, semakin memperjelas ketegasan alisnya. Kehadiran Erik di sisiku membuat hidupku terasa lebih hidup.
"I love you too, Rik.".
*the end*
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold As Ice
Teen FictionSeorang gadis yang menaruh perasaan kepada seorang lelaki dingin di sekolahnya secara diam-diam. Seperti labirin, membuat gadis itu terus mencari cara untuk menuju hati seorang lelaki itu. Disaat ia kira perjuangannya itu sia-sia, ia mendapatkan seb...