Aku hanya bisa berharap pada takdir yang melingkari kita. Tercatat di dalam kisah yang sama, menyatu dan berakhir bersama.
2 years later...
Aku sedang duduk di balkon apartemen, segelas teh hangat berada di pangkuanku. Aku memang sudah memiliki apartemen sendiri, kata mama dan papa, agar aku dapat belajar hidup mandiri. Walau setiap weekend, mama pasti menginap.
Aku memejamkan mataku lumayan lama, menikmati bau khas hujan yang menyeruak tajam mengisi indra penciumanku.
Selang beberapa detik, aku membuka mataku perlahan. Aku edarkan pandanganku sekeliling. Pandangan yang tak berubah, masih saja sama suasananya. Aku menghembuskan napasku dengan berat.
Dua tahun sudah berlalu, tapi aku masih saja berharap Erik kembali. Trederick Wienz, menghilang entah kemana tanpa jejak dan tanpa kabar.
Aku pikir, aku bisa mengatasi masalahku dengan Erik seorang diri. Nyatanya tidak. Walau hanyalah masalah sepele yang terjadi di antara kami. Tapi, yah, mungkin takdir berkata lain.
Tapi tetap saja, semuanya hancur. Semuanya terasa hancur. Menjalani kehidupanku selama dua tahun dengan kerinduan yang begitu luar biasa. Kerinduanku terhadap Erik.
Semuanya hancur. Aku menghancurkan hati Erik. Menghancurkan rasa percaya Erik.
Dua tahun lamanya aku harus memasang senyum palsuku didepan banyak orang.
Baru kali ini aku merasakan yang namanya kesepian. Hanya kenanganku dengannya yang menemaniku. Terlalu banyak kenangan bersama Erik, yang membuatku semakin sulit untuk melupakannya.
***
Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Sudah pukul setengah enam sore. Aku berdiri di halte sendirian. Menunggu hujan yang belum juga reda. Malah semakin deras. Dalam keadaan hujan deras begini, jarang sekali taksi atau bis yang berhenti dihalte. Membuatku kesal setengah mati.
Aku termenung menatap hujan deras yang mengguyuri tanah Melbourne. Hujan. Hujan ini mengingatkan ku akan kenanganku dengan Erik ketika masih di Indonesia saat bermain hujan ditaman.
Aku mengulurkan tanganku, merasakan butiran air hujan yang menyentuh punggung tanganku. Dingin. It is cold as ice. Aku tersenyum. Selalu dan selalu seperti ini setiap hujan datang. Mengingatkanku akan Erik, dan aku selalu merasa tenang. Tanpa sadar, kakiku melangkah dari halte tempatku berlindung tadi. Kini, aku melangkah tanpa ragu dibawah derasnya hujan. Air hujan jatuh mengenaiku.
Sejenak, aku menoleh kebelakang, ke tempat semua buku dan tas yang kutinggalkan disana. Halte itu masih kosong. Baguslah. Tidak ada orang yang akan menatapku dengan tatapan aneh. Lalu kurentangkan kedua tanganku. Seolah menyambut hujan untuk datang dan mendekapku dibawah guyuran air yang dingin.
Kalau dulu aku menikmati hujan seperti ini berdua dengan Erik, kini aku menikmatinya sendirian.
Tapi mataku terpaku saat melihat sosok lelaki yang berdiri di hadapanku. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan tempatku berdiri. Lelaki itu sedang diguyuri hujan sama seperti denganku. Mataku mungkin saja tidak berkedip melihat lelaki itu, jika saja air hujan tidak masuk ke mataku. Lelaki itu terlihat sangat familiar.
Kupegang dadaku dimana jantungku berdegup kencang melewati batas normal. "Siapa dia? Kok kayak kenal?", gumamku.
Entah sihir dari mana, aku berjalan mendekati lelaki itu dengan perasaan yang tak karuan. Kakiku semakin berat melangkah tatkala berdiri tidak jauh dibelakangnya.
Akhirnya aku sudah berdiri dibelakang lelaki itu, dan lelaki itu berdiri tegap membelakangi aku. Belum sadar akan kehadiranku, hatiku ragu. Apakah aku harus menegurnya atau tidak? Hujan yang deras mengusik pikiranku.
Aku pun memberanikan diri.
"Rik.", panggilku.
Lelaki itu memutarkan tubuhnya menghadapku dan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mataku membulat. Napasku seakan tercekat. Erik! Erik ada dihadapanku! Lelaki itu adalah Erik! Apakah aku sedang bermimpi?
Aku mundur selangkah dari hadapannya. Seperti yang dulu, wajahnya yang basah oleh hujan tidak menyurutkan pesonanya, masih tetap saja tampan!
Erik juga terlihat sedikit tersentak saat melihat diriku. Aku kembali tercekat saat melihat bola mata hazel nya. Tatapannya menembus bola mataku. Kami berdua pun terdiam, seolah membisu dibawah derasnya hujan. Kami saling menatap diantara jarak yang tercipta diantara aku dan Erik.
Aku dapat melihat senyum Erik samar-samar. "Jadi, bener, kan? Jodoh itu gak bakal kemana-mana.", kata Erik.
Napasku memburu. Aku hampir kehilangan akal ketika suara berat milik Erik masuk ke indra pendengaranku, sudah lama aku tidak mendengar suaranya.
Aku tersenyum. "Iya, jodoh emang gak bakal kemana-mana.".
Kali ini aku yakin, bahwa Erik hadir di kehidupanku bukan karena tanpa sengaja. Melainkan, kami memang dipertemukan dalam persimpangan takdir.
Dan, aku tidak ingin berpisah untuk selamanya. Tidak ingin berpisah dengan Erik lagi. Cukup sekali saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold As Ice
Teen FictionSeorang gadis yang menaruh perasaan kepada seorang lelaki dingin di sekolahnya secara diam-diam. Seperti labirin, membuat gadis itu terus mencari cara untuk menuju hati seorang lelaki itu. Disaat ia kira perjuangannya itu sia-sia, ia mendapatkan seb...