35

8.4K 340 0
                                    

Hari ini adalah hari terakhirku di Indonesia. Aku makan sarapanku secepat mungkin lalu pergi meninggalkan rumah paman Jo, dan memesan taksi untuk menuju rumah Erik. Tadinya paman Jo menawarkan tumpangan, tapi aku menolaknya karena tadi masih pukul tujuh pagi dan ada rasa tidak enak dan tidak tega saat melihat wajah paman Jo yang terlihat sangat masih mengantuk.

Sesampainya dirumah Erik, aku mengetuk pintu rumahnya tiga kali. Lalu terbukalah pintu itu dan Mbak Idah berdiri disana mematung di ambang pintu.

"Saya Nam, temannya Erik.", sapaku ramah sambil tersenyum.

Lalu Mbak Idah tertawa geli. "Kamu gak usah malu-malu gitu, Mbak udah tahu kalo kamu tuh pacarnya Erik.".

Aku mengernyitkan keningku. "Jangan bilang kalau Erik yang cerita?", tanyaku ragu.

Mbak Idah terkekeh pelan. "Iya, nona. Tuan Erik nya yang cerita ke saya.".

Aku tahu dan yakin, pasti wajahku sedang merah karena malu.

Mbak Idah mempersilahkan ku untuk masuk.

"Erik mana?", tanyaku.

"Ada diatas kamarnya.".

"Makasih.".

"Sama-sama, non.".

Aku naik keatas dan melihat ada pintu kayu yang sedikit terbuka. Aku mengintip, dan melihat ada Erik di balkon kamarnya. Aku pun masuk kedalam tanpa izin.

Erik sedang duduk di balkon sambil menghisap benda beracun yang mengeluarkan asap. Salah satu kebiasaan buruknya yang aku tidak suka.

"Rik.", panggilku lembut.

Erik menoleh kearah punggungnya dengan mata melotot.

"Ngapain lo disini?", tanyanya dingin.

"Mau ketemu elu, lah. Jam lima sore gue baru berangkat ke bandara. Dan pulang ke Australia.", jawabku.

"Mending lo pulang sekarang. Gue muak lihat muka lu.", katanya lagi yang berhasil membuatku terbelalak.

"Eh! Natap gue sini! Jangan ngerokok terus. Dan tolong jelasin ke gue ada apa dengan sikap lo yang kekanak-kanakan ini!", ucapku kesal.

Lalu Erik mengangkat kepalanya kearahku, membalas tatapan aku tepat di manik mata.

"Gue yang kekanak-kanakan?", tanya Erik dengan nada menyindir.

Aku menaikkan sebelah alisku. Ingin meminta penjelasan. "Ngomong yang jelas dong, Rik.", ketusku.

Mata Erik terpejam sambil menghisap rokoknya lagi. Lalu, Erik menggeleng-gelengkan kepalanya saat air matanya mengintip keluar dari sudut matanya. Erik menghapusnya dengan kasar.

"Rik, napa nangis?", tanyaku lembut. Selembut mungkin.

Tidak ada jawaban dari Erik. Yang ada, Erik langsung mematikan rokoknya di asbak yang ada disampingnya.

"Erik, jawab gue!", bentakku.

Erik pun bangkit dan beranjak pergi dari balkon kamarnya, dan menyambar kunci mobilnya. Aku masih bergeming diatas balkon kamar Erik, dari atas aku melihat Erik meninggalkan rumah dengan mobilnya. Melaju menembus angin sejuk di pagi hari. Apa pun ceritanya, dan apa pun yang akan terjadi setelah ini, aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu yang aneh, janggal, pokoknya ada sesuatu!

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang