28

8.1K 394 7
                                    

"Ternyata dia gak dingin, tapi dia pemalu.", gumamku pelan.

"Siapa yang pemalu?", tanya mama sembari menuangkan kopi susu ke gelas papa.

"Oh. Enggak, ma.", jawabku.

"Semenjak tinggal di Australia, sikap Namesta memang jadi aneh.", kata papa yang sedang membaca koran dengan serius.

"Tapi, Nam sekarang nilainya A plus, pa. Jadi gak apa-apa dong kalo sikap aku aneh, daripada nilai aku yang jeblok? Papa kan lebih pentingin nilai dari pada anaknya sendiri.", sindirku tajam kepada papa. Aku tahu hal tersebut memang tidak patut diikuti, jangan diikuti ya, guys! Tapi itu faktanya.

"Nam!", bentak mama. Sepertinya mama marah. Tapi begitu aku melihat ekspresi papa, wajahnya biasa saja, seperti tidak mempedulikan aku.

"Aku ngomongnya ke papa, kok mama yang marah?", tanyaku sembari memakan roti panggangku.

"Udah, Nam. Pagi-pagi gini, jangan bikin masalah lagi. Habisin roti nya cepat, lalu mama anterin kamu ke sekolah.", kata mama sambil melepaskan celemeknya.

"Oke. Aku pergi ya, pa.", kataku yang masih mengunyah lalu menyalam tangan papa.

Aku pun duduk manis disamping mama yang sedang fokus mengemudi.

Hening. Suasana di mobil, hanya ditemani oleh suara lagu yang ada di radio mobil.

Lalu, mama mematikan radionya.

"Nam, bisa nggak, sekali saja, jangan bikin keributan di rumah. Mama gak suka lihat kamu sama papa berantem terus kerjaannya. Udah kayak ngurusin dua bocah aja.", kata mama.

"Mungkin sikap aku gak bakal begini kalau kita gak pindah.", cetusku kesal.

"Masalahnya, itu sudah terlanjur. Bisa gak kita lupakan saja hal itu. Lalu move on to a new life in here.", kata mama dengan sabar.

"I can't. My life was so much better there.", balasku. Sejak tinggal di Australia, bahasa Inggrisku mulai membuat kemajuan.

"Ada apa sih? Kamu kangen seseorang disana? Di Indonesia? Di Jakarta? Siapa? Sahabat kamu itu? William?", tanya mama yang sesekali menengok kearahku.

Perkataan mama barusan, sontak membuatku melotot sejadi-jadinya.

Boro-boro kangen sama William, kepikiran aja kagak, aku membatin dalam hati dengan kesal.

"Idih. Enggak lah. Mau muntah kalau denger namanya.", cibirku.

"Jadi kangen sama siapa?", tanya mama lagi. Reflek, wajah Erik muncul dipikiranku.

"Eh? Mama gak usah banyak tanya. Mending fokus nyetir.", kataku.

"Jawab mama dulu!", paksa mama.

Aku berdecak kesal. "Gak ah. Gak penting untuk dibahas.".

"Penting tahu! Cepetan! Atau gak mama tabrak pohon nih.", kata mama sewot. Tapi berhasil membuatku terbelalak.

"Ih! Jangan lah! Mama mau mati cuman gara-gara aku gak mau curhat ke mama?", tanyaku dengan nada naik seoktaf.

"Iya!", jawabnya.

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang