27

9.1K 408 9
                                    

Aku menaruhmu terlalu dalam dihati. Sehingga untuk menghapusnya, aku seperti menyakiti diri sendiri.

"Hati-hati ya, Nam! Jangan nakal! Dan jangan punya sahabat disana, kalau temen boleh, tapi sahabat jangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hati-hati ya, Nam! Jangan nakal! Dan jangan punya sahabat disana, kalau temen boleh, tapi sahabat jangan. Sahabat lu cuman satu di bumi ini, yaitu gue!", entah itu ancaman atau sahutan perpisahan, tapi aku tetap memeluk Kila dengan sangat erat.

"Bawain gue bule, ya!", sudah kuduga jika kalimat itu bakal terlontar begitu saja dari mulut Kila.

"Lah? Gue nya mau dikemanain?", celetuk Roy. Iya, Roy ada disini. Kila tidak mau menaik taksi, kata nya hemat uang. Jadi, dia minta Roy yang baru saja mendapatkan SIM-nya, untuk mengantarnya ke bandara.

"Elo? Elo kan ada dihati gue.", jawab Kila asal.

"Jadi, bule nya jadi gak?", tanyaku iseng kepada Kila.

"Jadi dong!", jawab Kila semangat.

"Lah! GUE NYA JANGAN DI TELANTAR BEGITU DONG!", teriak Roy heboh.

"Jangan berisik! Ini bandara, bego!", kata Kila sambil meninju lengan Roy kencang.

"Aish! Ya sudah. Gue sama Nam aja deh.", kata Roy sewot. Membuatku melotot tajam kearah Roy.

"Ya sudah. Gue sama Zayn Malik aja deh.", balas Kila lebih sewot.

"Emang Zayn mau sama lo?", tanya Roy kesal.

"Eits! Udah, bacotnya nanti dimobil. Kita perpisahan dulu sama Nam.", kata Kila.

Lalu aku memeluk Kila sekali lagi. Dan memeluk Roy sekilas.

"Kalau udah sampai di Australia, kabarin, ya!", kata Kila.

"Iyaaaa... Astaga, bawel banget deh.", cibirku.

"Awas! Ntar kangen loh!", jawab Kila.

Aku hanya bisa memeletkan lidahku untuk meledeknya.

Tapi, tidak ada Erik, batinku sedih.

"Erik kemana, sih?", gumamku pelan.

"Namesta!", panggil mama.

Aku menoleh. Aku melihat mama dan papa sudah ingin masuk kedalam.

Aku melambaikan tanganku ke Kila dan Roy dengan semangat.

Lalu menuju bandara.

Saat pesawat yang aku naiki lepas landas, aku menatap jendela pesawat. Melihat diriku menentang Tanah Air.

***

Hujan deras turun malam itu. Aku tengah berdiri diam di balkon rumahku di Melbourne, Australia. Tempat yang sangat nyaman dan tenang.

Aku menggosok kedua tanganku. Menghalau rasa dingin yang menusuk tulangku. Rintik-rintik hujan mengenai puncak kepalaku. Aku mundur beberapa langkah agar air hujan tidak berjatuhan mengenai kepalaku lagi.

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang