1

23.8K 964 18
                                    

Selesai upacara, kami balik kekelas. Aku belum tahu letak kelasku dimana, jadi aku berjalan menuju meja reseptionis yang ada di lobi sekolah.

"Misi, kelas saya dimana ya, bu?", tanyaku.

"Nama panjang dan kelas angkatan berapa?", ibu reseptionis nya tanya balik.

"Namesta Devisolia, kelas sepuluh.", jawabku.

Ibu reseptionis itu mengetik-ngetik sesuatu dikomputernya.

"Kamu terdaftar sebagai murid kelas X-3 IPA.", kata ibu reseptionis sambil tersenyum kearahku.

"Oke. Terima kasih ya, bu.", kataku lalu dengan cepat aku mencari-cari kelas X-3 IPA. Karena aku melihat, lorong sekolah mulai sepi, murid-murid pada balik kekelasnya masing-masing.

Begitu aku masuk kekelasku. Suasananya lumayan ramai. Ada beberapa geng laki-laki yang bernyanyi tidak jelas sambil berdiri diatas meja. Lalu ada geng perempuan yang ber-gossip-ria di pojokan. Tapi, juga ada beberapa murid yang memakai kacamata tebal sambil membaca buku tebal, mungkin itu geng yang kutubuku. Aku bingung sekali, harus duduk dimanakah aku?

Lalu aku melihat satu tempat kosong, tapi disampingnya ada satu perempuan yang sedang memainkan HP-nya.

Mungkin dia akan menjadi temanku di sekolah ini.

Aku menuju tempat kosong itu. Perempuan itu masih fokus dengan HP-nya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku.

"Halo. Kosong kan? Gue duduk sini ya.", kataku lalu aku langsung duduk, entah dia setuju kah jika aku duduk disampingnya atau tidak, yang penting aku langsung duduk. Karena sudah tidak ada tempat lagi.

"Oh. Iya, gak ada kok.", katanya. Jujur saja, jawabannya agak tidak nyambung.

"Nama gue Akila. Akila Rajaresta. Panggilan gue Kila.", kata perempuan itu dengan sangat ramah, sambil menjulurkan tangannya. Aku membalas jabatan tangannya itu.

"Gue Nam.", kataku.

"Nam? Namanya unik banget dah. Nam doang gitu?", tanyanya.

"Gak lah. Namesta. Namesta Devisolia.", jawabku.

"Nama dari mana tuh? Unik.".

"Namesta itu nama Thailand.".

"Wih. Orang Thailand, nih?", tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Enggak. Namanya doang kok.", jawabku.

"Nam. Nam. Nam. Lucu ih. Lucu namanya.", katanya dengan gemas.

"Namanya yang lucu, atau orangnya?", candaku.

"Idih. Ngarep banget. Mau banget dibilang lucu.", jawabnya.

Lalu kami bercekikikan.

Tak disangka, aku dan Kila mulai akrab. Cepat sekali. Keakraban kami lumayan, lah. Dia lucu, konyol, dan bestfriend material banget deh. Betah deh aku berteman dengannya.

Ditengah-tengah pelajaran. Seorang lelaki masuk kedalam kelas.

Dia.

Mataku membulat. Aku melihat sosok lelaki itu lagi. Lelaki yang sampai sekarang belum ku ketahui namanya. Lelaki yang memboncengku kesekolah. Dan lelaki yang membuatku kesal.

"Misi, pak. Saya mau pinjem Roy.", kata lelaki itu.

"Elah. Kok gue dipinjem-pinjem sih? Mau di apain?", kata Roy yang mengundang tawa sekelas.

Roy adalah salah satu pengurus OSIS. Dia adalah OSIS futsal. Dia ada dikelasku untuk menilai suasana kelas. Atau bahasa kerennya sih, mengobservasi kelas. Jadi, pengurus OSIS disuruh untuk mengobservasi kelas angkatan sepuluh di hari pertama sekolah.

Aku kenal Roy, karena saat MOS, dia lah kakak kelas yang mementori kelasku saat MOS.

"Untuk apa?", tanya Pak Frenz, guru IPS.

"Ada rapat OSIS.", jawab lelaki itu. AAAAGH aku geram sekali karena aku belum tahu namanya. Di seragamnya, tidak ada name tag sama sekali.

Pak Frenz mengizinkannya, dan Roy pun pergi meninggalkan kelas.

"Kila.", bisikku.

"Apa?", balasnya.

"Tadi tuh siapa sih?", tanyaku.

"Ih. Telinga lu gak di korek ya? Roy! Itu kak Roy.", jawabnya.

"Masih mending telinga gue gak di korek. Lah elu, otaknya gak dipasang. Yah udah jelas gue nanyain laki-laki yang barusan manggil Roy.", jawabku geram. Huh, itu anak agak telmi. (Telmi=Telat Mikir).

"Ooohh.. Masa gak kenal? Itu OSIS basket. Kak Erik.", katanya.

Erik.

"Kok pas MOS gue gak ada lihat dia ya?", tanyaku. Aku bingung sekali, karena perasaanku, aku tidak melihat dia sama sekali.

"Katanya sih, pas MOS, dia gak ikutan mentorin adik kelas.".

"Ooohhh...".

"Udah ah. Jangan ngobrol lagi, itu si Pak Frenz ngejelasin nya gak jelas, kalo gak diperhatiin makin gak ngerti ntar.", kata Kila.

"Alah. Sok pinter lo.".

Dia tidak menggubris perkataanku, dia sedang fokus memperhatikan Pak Frenz yang sedang menjelaskan pelajaran didepan kelas. Huh, mungkin dia memang anak rajin.

Erik.

Aaaah.. Nama itu muncul lagi dibenakku. Aneh! Aneh sekali! Apa-apaan lah pikiranku ini, seharusnya memikirkan pelajaran, otakku malah memikirkan lelaki itu, Erik. Ugh... Pasrah aja dah aku. Habisnya dia ganteng sih. Eh, apa-apaan?!?

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang