24

9K 393 5
                                    

Bersama hujan, yang melarutkan sebuah perasaan. Semoga setiap rindu, berbalas sebuah pelukan.

 Semoga setiap rindu, berbalas sebuah pelukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Erik, gue mau ngomong sama lo.", adalah kalimat pertama yang kuucapkan esok paginya kepada Erik. Bukan di kelas, ataupun di area sekolah. Melainkan di halte. Sudah waktunya pulang. Kebetulan, aku menemukan Erik di halte.

Aku tidak tahu kata apa yang cocok untuk menggambarkan suasana hatiku sekarang. Aku harus bisa memberi tahu ini kepada Erik, sekarang juga!

Jantungku berdegup terlalu kencang hingga suara degupannya terdengar nyaring ditelingaku.

"Empat hari lagi gue pindah.", ucapku pelan.

Aku menunduk menatap sepatu converse hitamku yang mengkilap, menunggu tanggapan dari Erik.

"Pindah kemana?", tanya Erik dengan nada tegasnya yang membuatku gugup.

"Ke Australia.", jawabku setengah berbisik.

Hening...

Aku masih menunduk. Tidak berani mendongakkan kepalaku. Tidak siap untuk melihat wajah Erik. Aku juga sedang menahan tangisanku sekuat tenaga.

"Jangan disini.", kata Erik lalu dia menarik tanganku kuat. Meninggalkan halte sekolah, menuju suatu tempat yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.

Hanya beberapa menit kemudian, aku dan Erik sudah duduk di kursi panjang di sebuah taman kecil. Tamannya juga sepi, bahkan tidak ada orang selain aku dan Erik.

"Empat hari lagi lu pindah?", Erik membuka percakapan.

Badanku yang sedari tadi masih menunduk, langsung menegak. "Iya, kak. Eh, Erik. Maaf.".

"Maaf? Maaf kenapa?", tanya nya sambil mengerutkan jidatnya.

"Padahal, baru saja lu bilang ke gue, untuk jangan jauh-jauh dari lu. Tapi, kenyataannya, gue harus jauh-jauh dari lu.".

"Katanya lu bisa tepati janji? Ya, kan?", Erik melirik tajam. "Jadi sekarang, kita berdua harus ngomongin tindakan apa lagi yang harus kita lakukan selanjutnya.".

Aku mengernyitkan keningku. Benar-benar tidak mengerti maksudnya.

"Iya, Rik. Maafin gue.", kataku.

Erik terdiam sejenak. Sekali lagi, kami di selimuti keheningan yang menyiksa.

"Gue harus pindah, Rik. Ini keputusan bokap gue. Serius dah, bokap gue tuh keras kepala banget. Dan bukannya gue sombong, tapi keluarga gue itu punya sopan santun dan etika, dan sekali saja gue bikin kesalahan yang bagi orang tua gue itu besar padahal kecil, mereka gak akan ampuni. Apalagi, bokap gue. Kalo nyokap sih masih ada hati.", curhatku.

Cold As IceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang