25. In Party 2

172 8 2
                                    

Okeee Readerss ini next episodenya yaa...!!!
Jadi jangan lupa saran dan masukkannya lagi berikut dengan votenya *He..hehe*.

Maaf kalau authornya banyak nuntut  yeee (●__●). Mungkin bawaan orok kali *ehhhh*.

So, Happy Reading Guysss
( ˘ ³˘)❤

Aku terus memandang ke bawah, karena takut akan menginjak kaki James. Mengingat ini adalah kali pertamaku berdansa dengan seorang pria.

"Jika kau sedang berdansa dengan seseorang, pastikan kau menatap wajahnya. Bukan memandang kakinya". Ujar James tepat di hadapanku saat ini.

Tanpa menjawab perkataannya, aku menurutinya untuk menatap wajahnya.

Di tempat yang bersamaan, seorang pria terlihat geram dengan pemandangan yang tengah ia saksikan saat ini. Ia menggepal tangannya dan rasanya ingin menghajar wajah pria yang telah merebut wanitanya.

"Lalu... Apa kau sudah merasa baik??". Tanya James tepat di telingaku.

Aku menatap James dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa dia tahu mengenai perasaanku saat ini.

"B...b..bagaimana kau tahu???". Tanyaku kembali dan menatapnya takjub.

"Aku akan tahu hanya dengan melihat wajahmu Diz". Jelas James dengan suara rendahnya.

Aku hanya tersenyum masam padanya. Sungguh aku tidak menyangka sama sekali jika James dengan mudahnya mengetahui perasaanku saat ini.

Aku dan James menghentikan dansa kami dan menyingkir dintara kerumunan orang-orang yang masih tengah berdansa.

Karin menghampiriku dan juga James dengan tatapan takjubnya.
"Heiii aku tidak menyangka kalian bisa berdansa bersama, tapi bukankah kalian saling musuhan?? Tanya Karin dengan tatapan menyelidik padaku dan James.

"Ah itu...". Aku menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal sama sekali. Rasanya tak mungkin kalau aku menceritakan kecerobohanku yang sampai mengalami kram pada Karin.

"Bukankah bermusuhan itu tidak baik, jadi selagi kita bisa memperbaikin keadaan. Why not??". Potong James untuk meyakinkan Karin.

Fiuuuu... syukurlah James bisa membantuku. Karena Karin tampaknya percaya dengan kata-kata yang barusan di lontarkan oleh James. Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan agar tidak terus-terusan berbohong pada Karin.

"So, Karin i think we must back to home". Aku menunjukkan jam yang tertera di ponselku pada Karin.

"Wahh kau benar Diz, tapi aku rasa sebaiknya kau diantar oleh James saja. Kau tahu kan apartemenku dan apartemenmu berlawanan arah". Karin menatapku dan James bergantian dengan senyuman jahil miliknya.

Aku tahu apa maksud tujuan Karin saat ini. Dia pasti ingin membuatku dan juga James bisa jadian. Huuuu... dasar Karin. Aku memberikan tatapan menusuk pada Karin, untuk memperingatinya.

"Baiklah aku rasa itu bukan masalah untukku". James menerima permintaan Karin begitu saja.

"Ayo Diz". James menggenggam tanganku untuk pergi meninggalkan Karin.

"Aku yang akan mengantarnya". Suara berat dan maskulin yang begitu tak asing di telingaku membuatku mengalihkan tatapanku dari James. Suara tersebut milik pria yang telah menjadi suamiku saat ini, Shin.

Aku sungguh terkejut melihat Shin yang berada di hadapanku dengan ekspresi dinginnya. Sorot matanya begitu menusuk terutama pada James. Shin melepaskan genggaman tangan James padaku dan menarikku untuk mendekat padanya.

James terlihat geram dengan perlakuan yang Shin lakukan padaku.
"Kau pikir kau siapa??". James menatap Shin dengan tajam.

"Aku suaminya" jelas Shin dengan datar. Shin menggenggam tanganku dengan erat dan lagi-lagi dia memberikan tatapan yang mematikan untuk membuat James menjauh dariku.

James mencekal tangan Shin yang saat ini sedang menggenggam tanganku.
"Kau tidak bisa membuat keputusan sendiri. Bagaimana pun Dizta lah yang berhak memutuskan dengan siapa dia akan pulang". James dan Shin menatap tajam ke arahku menungguku memberi keputusan pada mereka berdua.

Situasi saat ini benar-benar menegangkan, banyak aura mematikan yang menyelingkupi kami. Bahkan Karin sendiri hanya bungkam tak dapat berkata-kata.

Aku mengatur nafasku dan mencoba meyakinkan diriku saat ini.
"Maaf James, sebaiknya aku pulang bersama Shin". Ujarku dengan suara yang pelan. James memandangku dengan tatapan kecewa.

"Kau dengar sendiri". Ujar Shin dengan nada mengejek pada James. Shin menyunggingkan senyuman kemenangan pada James dan menarikku untuk pergi meninggalkan James dan juga Karin.

Aku sungguh tidak bermaksud membuat James kecewa. Cuma.. Hanya ini cara agar mereka tidak bersiteru tegang hanya karena masalah sepele. Meski Shin telah membuat hatiku hancur, tapi bagaimanapun dia tetaplah suamiku.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran, aku hanya diam karena merasa bersalah pada James. Sementar Shin menggenggam tanganku dengan erat seakan dia tak ingin aku jauh darinya.

"Maaf". Suara Shin membuatku memusatkan perhatianku padanya. Aku baru sadar kalau saat ini kami sudah berada di dalam mobil Shin. Shin memandangku dengan tatapan bersalah.

"Tidak apa-apa Shin". Balasku padanya. Aku menunjukkan seulas senyuman pada Shin. Dan kembali memandang ke luar.

Setelahnya tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir kami. Hanya keheningan yang menemani perjalanan kami. Bahkan saat kami sudah di apartemenku keadaannya masih sama.

"Dizta". Ujar Shin dan menarikku kedalam pelukkannya. Aku hanya diam di pelukkan Shin karena begitu kaget dengan hal yang di lakukan olehnya.

Aku melepaskan pelukkan darinya dan menatapnya.
"Shin.... Apa..".

~Cuppp~

Ucapanku terputus, karena Shin membungkam bibirku dengan bibirnya. Aku sungguh terkejut dengan Shin yang menciumku saat ini.

Shin melumat bibirku dengan sangat lembut. Otakku tak dapat berpikir dengan jernih saat ini, sehingga yang kulakukan hanya diam dan menutup kedua mataku. Shin memegang tengkukku untuk memperdalam ciumannya padaku. Nafasku tersenggal-senggal karena Shin begitu lihai nya menciumku.

Entah sudah berapa lama kami berciuman. Shin akhirnya menghentikan ciumannya padaku dan membuatku kini bisa bernafas dengan bebas. Matanya memandangku dengan dalam, dan seketika aku tersadar dengan hal yang tak seharusnya kami lakukan.

Aku mundur beberapa langkah dari Shin dan berlari menuju kamarku. Sementara Shin masih berdiri terpaku.

Saat berada di kamarku, aku menutup pintu kamarku. Dan duduk dengan memegang kedua lututku. Perasaan kecewa yang luar biasa menyelingkupi diriku saat ini. Tanpa sadar air mataku pun jatuh membasahi kedua pipiku. Dadaku rasanya begitu sesak mengingat hal yang telah kami lakukan.

Aku sungguh tak percaya kalau aku sama sekali tidak bisa mengendalikan diriku. Seandainya hubunganku dengannya tak serumit ini, pasti hatiku tak merasa sesakit ini. Bahkan aku sempat berharap saat ini, kalau dia akan mengejarku dan menyatakan perasaannya. Tapi lagi-lagi aku harus menerima kenyataan pahit yang ada dihadapanku.

I Hope You Love Me [FINISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang