Budayakan vote sebelum membaca, ok?
Sayup-sayup Aravika mendengarkan suara yang sepertinya berasal dari balik pintu kamarnya. Dia yakin itu adalah suara kakaknya dan Mamanya, namun yang membuat dia bingung adalah, mengapa mereka harus berbicara di luar? Dan kenapa mereka seperti berbisik merencanakan sesuatu tanpa memberitahunya?
"Mama udah nelpon papa, kakak disini dulu ya. Jagain adik kamu. Kalo dia udah siuman, kasih obat yang tadi kakak tebus."
"Iya ma, kakak pasti jagain Aravika. Mama mau ngomong sama Papa ya?"
"Iya, Papa kamu harus tau tentang ini. Mama takut kejadian dulu yang waktu di Bandung keulang lagi."
"Yaudah, kalo gitu mama pergi sekarang. Papa pasti udah nungguin mama dikantor, Rafael janji jagain Ara."
"Mama pergi dulu ya."
Cklek...
Pintu terbuka menampilkan Rafael yang terlihat terkejut melihat Aravika yang sudah siuman. Dia berjalan menghampiri adiknya itu dan duduk dipinggir ranjang yang sedang ditempati Aravika.
"Lo udah baikan dek?"tanyanya sambil mengelus puncak kepalanya.
Aravika mengangguk, sebelum dia bertanya tentang suara yang dia dengar tadi, Rafael sudah menyodorkan air minum dan obat kepadanya.
"Nih, minum. Kata mama kalo lo udah siuman, lo harus minum obat dulu,"ucapnya sambil tetap memegangi obat dan gelas yang sudah tersedia dari tadi.
Aravika menerima obat itu dan meminumnya.
"Lo istirahat lagi sana, kepala lo masih pusing,kan?"
"Bentar deh kak, gue mau nanya."
"Apaan?"
"Mama mau kemana tadi?"
Rafael terdiam, berusaha menyusun jawaban terbaik di otaknya agar adiknya ini tidak curiga kepadanya.
"Mau ke kantor Papa sebentar, mau ngabarin kondisi lo,"jawabnya sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap tenang dan memasang wajah tanpa ekspresinya, agar Aravika tidak mengetahui kebohongannya.
"Dan... gue tadi sempat denger, kejadian di Bandung?! Itu yang mana?"
"Mmm..." Rafael terlihat mulai gelagapan menanggapi pertanyaan dari Aravika yang terlihat semakin penasaran.
"Itu... yang... yang waktu lo pingsan karna lihat album yang tadi,"jawabnya. Kali ini dia tidak bisa berbohong. Dia sudah terhipnotis dengan raut wajah penasaran Aravika.
"Memangnya album itu punya siapa sih kak? Gue kayak familiar sama muka yang ada difoto lembar pertama. Kalo aja kakak gak nyegah gue tadi, pasti sekarang gue udah tau foto dilembar kedua gimana,"gerutunya.
"Mmm.. gak, gak punya siapa-siapa. Itu punya temennya mama katanya. Mungkin dulu kita pernah ketemu sama mereka?"
"Udahlah, lo gak usah terlalu mikirin album itu. Sekarang lo istirahat, kata mama lo harus banyak istirahat. Tidur sana. Gue disini kok,"tambahnya.
Kemudian Rafael berbaring di sebelah Aravika, dan mulai memejamkan matanya.
"Kakak mah bukan jagain namanya, tapi ikut tidur juga,"gerutunya lagi.
"Yaudahlah, tidur aja kenapa sih?! Gue udah lama gak tidur siang, gegara tugas numpuk semua. Gue heran, tuh dosen seneng banget nyiksa mahasiswanya,"ucapnya sambil tetap memejamkan matanya.
"Gue jadi males buat kuliah."
"Husshh... kalo lo gak mau kuliah, bisa digorok sama bokap lo,"ancam Rafael.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Teen FictionHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...