ArVi 29.

7.4K 578 25
                                    

Budayakan untuk Vote sebelum membaca, ok?

Aravika masih terduduk menangis didepan ruang IGD. Disana juga terdapat Fabian, Rio yang masih menunggu dengan cemas. Sudah hampir dua setengah jam mereka menunggu disana. Menunggu kabar baik dari Arland, bukan kabar buruk.

Terlihat Aravika duduk dibangku tunggu depan ruangan itu, sedangkan Rio sedari tadi berjalan bolak-balik dengan raut wajah khawatirnya. Fabian juga tak kalah khawatirnya dengan Aravika dan Rio, namun dengan mudah dia menyembunyikan ekspresi cemasnya, walaupun tetap kelihatan dengan jelas dari sorot mata Bian. Sedangkan Bani pergi untuk membeli beberapa makanan untuk mereka yang berada disana.

Rio akhirnya terduduk disamping Aravika yang masih menangis namun tak mengeluarkan isak tangis lagi. Tatapan Rio mengarah kedepan, seakan memperhatikan ubin yang ada dihadapannya. Namun tidak. Rio bukannya memperhatikan lantai rumah sakit tersebut. Pikirannya sekarang sedang melayang, berkelana entah kemana saja dengan satu tujuan. Arland. Dialah yang menjadi pusat kekhawatiran semua orang termasuk Rio saat ini.

"Yo,"panggil Aravika pelan. Suaranya  sudah semakin serak.

Rio mengarahkan padangannya pada Vika, sedangkan Fabian hanya melirik mereka berdua saja.

"Arland gak akan kenapa-napa kan?"lirihnya.

Rio tersentak, kaget akan pertanyaan dari Aravika. Dia terdiam sejenak, kemudian menghela napas panjang.

"Dia bakalan baik-baik aja kok Vik. Selama gue sahabatan sama dia, Arland itu selalu untuk mencoba kuat,"jawab Rio.

"Jadi lo ga usah cemas, gue yakin Arland pasti sehat lagi."tambahnya.

Aravika mengganggukan kepalanya pelan, kemudian menyeka sisa air matanya. Dia tidak ingin terlihat lemah, dan untuk pertama kalinya Aravika menangis didepan orang banyak dan itu karena orang lain bukan keluarganya. Itu membuktikan, bahwa sekarang Arland sudah memasuki hidupnya, dan Arland sangat berharga baginya.

Fabian hanya menghela napas panjang melihat mereka berdua. Tanpa disadari, hubungan Aravika dan Arland semakin erat seiring dengan berjalannya waktu. Dan jika salah satu memilih meninggalkan, maka tidak hanya satu pihak yang pasti akan merasa tersakiti, namun keduanya. Karena Fabian tau, suatu saat mereka berdua akan mengalami masalah yang lebih dari ini.

'Apa yang lo pikirin Bian?!'batinnya sendiri. 'Gue berusaha untuk menyelami hubungan Arland dan Aravika, tetapi masalah gue sendiri gak bisa gue selesaikan?'pikirnya.

'Tapi, gimana kabar Sania sendiri ya? Rasanya gue ka—'

"Vika!"

Degg...

'Suara itu?'batin Fabian lagi.

"Sania! Lo kok bisa ada disini?"tanya Aravika.

" Gue ditelpon sama Bani tadi, katanya lo udah ketemu trus Arland di..."

Aravika langsung memeluk Sania erat. Sania mengelus-elus punggung Vika pelan.
"Gue ngerti kok Vik, lo pothink aja. Gue yakin Arland bakalan baik-baik aja,"ucap Sania berusaha menenangkan Aravika. Terlihat bahu Aravika mulai bergetar, namun dengan sekuat tenaga Aravika menahan diri untuk tidak menangis lagi.

Sania yang menyadari hal itu hanya bisa menghela napas pelan. Dia kembali mengelus punggung Vika, berusaha untuk menenangkan.

"Kalo lo mau nangis, nangis aja. Biarin lo lega dengan sendirinya. Karena mungkin tangisan terkadang bisa mengobati hati yang terluka Vik,"nasihat Sania. Seketika, tangis Aravika pecah, dia tak dapat menahan dirinya untuk tidak menangis. Biar saja semua yang melihat dia menangis menganggap dirinya lemah, yang terpenting baginya sekarang ini adalah kesembuhan Arland. Karena walaupun dia menangis dan terlihat lemah, setidaknya ada Arland yang tetap menopangnya agar dia terlihat kuat.

My Possessive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang