ArVi 35.

4.6K 362 2
                                    

Budayakan Vote, sebelum membaca~

Rafael keluar dari ruangan Aravika. Dengan pelan, dia menutup pintu ruangan sambil menghela napas. Perasaannya saat ini sangat campur aduk, entah bagaimana perasaan dua orang yang saling mencintai itu namun takut untuk bersama. Yang dia maksud saat ini adalah Aravika dan Arland. Masalah yang dimiliki sebenarnya tidak besar, semua hanya masalah kepercayaan yang takut untuk diberikan. Namun entah mengapa, semuanya sulit terurai satu persatu, mengakibatkan kedua hati terluka lagi.

Arland masih disana, masih terpaku dengan seribu perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan. Masih terdiam disana, dengan berbagai pernyataan maupun pertanyaan yang selalu berputar dibenaknya. Tapi yang paling sering muncul dibenaknya saat ini adalah pernyataan.

Seharusnya dia tidak mencelakai Raflina! Seharusnya dia tidak ceroboh saat itu! Seharusnya dia bisa lebih berhati-hati kalau tau semuanya akan menjadi seperti ini! Seharusnya dia tidak bermain bersama Vika hingga larut! Seharusnya Raflina membiarkan saja dia yang menjadi korban kecelakaan! Seharusnya dia saja yang mati pada saat itu juga! Seharusnya... seharusnya....

"Akhh.."rintih Arland. Dia capek memikirkan semua ini, ini begitu rumit baginya. Dia begitu lelah, lelah menyimpan semua masalah ini yang akhirnya memuncak saat ini. Seandainya saja dia yang mati, maka dia tidak akan pernah merasa bersalah seperti ini, dia tidak akan menghancurkan kebahagiaan orang yang dia sayangi. Tapi entah kenapa Tuhan tidak mengijinkannya mati saat itu juga. Apakah Sang Maha Kuasa ingin melihat Arland dipermainkan oleh takdir yang begitu kejam ini?

Rafael menghampiri Arland, yang tengah bersandar didinding koridor. Baru kali ini Arland terlihat serapuh ini, Arland yang dia tahu adalah Arland yang tetap optimis dengan segala hal.

"Gue....bego,"bisiknya pelan.

"Gue....bajingan."

"Gue...brengsek."

"Gak seharusnya.....gue hidup."

Rafael menggelengkan kepalanya, dia tau saat ini Arland telah mencapai titik dimana semua emosinya meluruh. Merasakan keterpurukan Arland, membuat Rafael merasa kasihan. Ini semua memang bukan salah Arland. Bukan juga salah Aravika. Ini merupakan sebuah takdir yang memang sudah harus terjadi.

"Jangan salahin diri lo Land,"katanya sambil menepuk-nepuk bahu Arland yang terlihat rapuh saat ini.

"Cukup buat Aravika percaya sama lo lagi, tunjukin kalo lo sayang sama dia. Jelasin apa yang perlu lo jelasin dan apa yang perlu dia tahu. Selanjutnya, biarin waktu yang menyembuhkan tiap luka,"saran Rafael.

Arland masih belum menggubris ucapan Rafael, entah apa yang sedang berada didalam kepalanya saat ini, sampai dia menatap ke arah lantai rumah sakit dengan tatapan kosong. Bagi Rafael, dia sama saja melihat seonggok tubuh tanpa jiwa ketika melihat Arland. Tanpa semangat hidup, tanpa rasa optimisnya, Arland bukan lagi terlihat seperti Arland yang sebelumnya. Arland yang saat ini, sudah hampir seperti zombie.

"Seandainya gue yang mati pasti gak gak bakalan gini jadinya. Seandainya gue ceritain ini dari awal, pasti Ara gak bakalan sakit kayak gini. Seandainya...."

"Stop berkata 'seandainya' karna itu gak akan ngubah apapun. Lo hanya harus jalanin takdir yang udah dipersiapkan Tuhan buat lo Land!"bentak Rafael geram. Terlalu lelah untuk bertengkar saat ini, namun dia juga harus bisa menyadarkan Arland. Rafael sadar, bahwa saat ini Arland telah....menyerah pada kehidupannya.

"Lo gak tau gimana rasanya, gimana rasa sakitnya dilupain sama orang yang lo sayang! Lo gak akan pernah tau gimana sakitnya dijauhkan dengan sengaja sama orang yang lo sayang! Itu yang namanya harus ngejalanin takdir gue?! IYA!" Arland menatap Rafael dengan marah, emosinya yang sedang labil saat ini membuatnya mudah terpancing amarahnya.

My Possessive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang