Budayakan Vote sebelum membaca, ok?
Bani kembali mencoba untuk mengubungi Arland, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada jawaban dari sana, dia menoleh ke arah Fabian dan juga Rio kemudian menggeleng.
"Ajing!"umpat Rio. "Kenapa bisa jadi gini sih?! Kita udah kecolongan,"ucap Rio sambil mengacak rambutnya dengan kasar.
"Ini, ini semua salah gue. Gue yang ditugasin Arland buat jagain Aravika, gue yang udah dikasih kepercayaan sama Arland tapi ternyata gue gak becus!"ucap Bani pada dirinya sendiri.
Fabian menghela napas lelah. Baginya, ini adalah salah semuanya termasuk dirinya. Jadi tidak ada satu orang pun yang berhak menerima hukuman ataupun merasa bersalah seperti Bani saat ini.
"Udahlah, ini bukan salah lo juga. Kita semua yang bertanggung jawab atas kecerobohan ini. Daripada kita menghukum diri sendiri kayak gini, lebih baik kita temuin Arland, dan sebagiannya lagi cari Aravika," ucap Fabian menengahi kebingungan mereka semua.
"Rio, Bani, kita ke tempat Arland sekarang."
Fabian berjalan di ikuti Rio dan juga Bani dibelakangnya. Mereka membawa kendaraan masing-masing, menuju tempat Arland saat ini. Gedung bekas perbengkelan.
•°•°•°•
"Arland!" panggil Rio begitu melihat Arland terduduk dengan pandangan mata kosongnya.
Rio menggoyangkan tubuh Arland, bermaksud untuk menyadarkan Arland saat ini yang jiwanya entah kemana. Arland terlihat begitu.... hancur.
Dia bagaikan tak bernyawa, terduduk dengan seribu spekulasi dibenaknya. Mata yang biasanya memancarkan aura positif dan semangat seakan redup dan sebentar lagi akan mati. Jiwanya seakan ditarik paksa keluar dari tubuhnya, hatinya menjerit dalam diam ketika melihat apa yang menjadi semangat hidupnya sudah hilang. Padahal dia sudah berjanji untuk menjaganya dan tidak akan pernah mengecewakan penopang hidupnya itu. Dia, Aravika."Kenapa Tuhan gak pernah ngijin'in gue untuk hidup bahagia." Ucapnya yang seperti sebuah pernyataan mutlak yang selalu saja dia alami.
Rio, Fabian dan juga Bani terdiam, bingung untuk menjawab apa. Mereka sudah bersama bertahun-tahun, yang membuat mereka saling mengetahui seluk-beluk dan cerita dari masing-masing. Keterdiaman merek bertiga membuat Arland tersenyum kecut.
"Gue terlalu.... bener kan?"tanya Arland.
Fabian menghela napas panjang, dia tidak tahan berada disituasi seperti ini. Dia tidak sanggup melihat sahabat-sahabatnya kacau dan seperti tidak memiliki gairah hidup seperti ini. Mereka bersahabat karena mereka disatukan oleh cerita yang di alami oleh masing-masing pihak. Mereka semua pernah mengalami masa-masa sulit seperti ini, tidak memiliki gairah hidup. Tapi karna hal itulah mereka secara bersama merangkul satu sama lain, sama-sama memberi semangat untuk tetap berjuang ditengah keterpurukan masing-masing.
"Lo tau, seharusnya saat ini kita bersyukur bukannya mengeluh kayak gini,"ucap Fabian setelah terdiam cukup lama.
"Kita dilahirkan dengan memiliki segalanya, tapi belum tentu kita dapat merasakan segalanya itu. Tuhan itu adil Land, jadi jangan pernah nyalahin pencipta lo. Lo emang selalu ngerasain sakit kayak gini, tapi ini belum seberapa, man. Masih banyak lagi masalah yang akan lo hadapin kedepannya.
"Lo pernah mikir gak, kalo masalah kita itu memiliki titik tersulit masing-masing. Masalah Bani belum tentu bisa lo selesaiin, masalah gue belum tentu Rio bisa selesaiin. Tapi masing-masing dari kita bisa nyelesaiin masalahnya sendiri-sendiri. Kita semua hanya butuh dukungan, dan saran, bukan putus asa kayak gini."
Bani mengangguk. "Bian bener Land, kalo'pun lo belum ngerasain yang namanya 'bahagia' itu, kejar apa yang lo sebut kebahagiaan lo, bukan malah terpuruk gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Teen FictionHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...