Budayakan Vote, sebelum membaca ok..
Aravika segera dibawa ke rumah sakit karena melihat kondisinya yang tidak stabil, ditambah lagi dia pingsan kembali pada saat perjalanan mereka menuju rumah sakit. Arland yang menggunakan kendaraan pribadinya langsung ditelpon Rio yang berada dimobil kepolisian bersama Aravika.
Arland langsung kalang kabut mendengar berita itu, dia langsung menginjak pedal gasnya dalam, untuk segera menyusul mereka ke rumah sakit. Pikiran Arland sedang tak fokus saat ini, banyak hal yang berkecamuk di pikirannya saat ini. Dan banyak pertanyaan yang sedari tadi berputar benaknya, menunggu untuk mendapatkan jawaban. Ditambah lagi, Arland takut jika kesimpulan yang langsung dia ambil saat ini benar. Dia takut semua mimpi buruknya yang selama ini mendatanginya terjadi ketika dia masih belum siap untuk menghadapi segalanya. Dia masih ingin merasakan masa-masa manis yang sudah lama tidak dia dapatkan.
Jadi, kapan dia siap untuk itu? Dan Arland rasa jawabannya adalah tidak pernah. Dia tidak akan pernah siap untuk kehilangan orang yang sangat berarti untuknya itu. Tetapi sekarang, apa yang terjadi? Tidak terjadi apapun. Setidaknya masih belum.
Seketika, menelusup rasa takut dan egoisnya. Dia ingin egois untuk sekali saja, dengan membawa Aravika untuk tetap bersamanya dan tidak akan membiarkan dia pergi kemanapun. Dan rasa takut yang cukup besar, hingga mampu membuatnya berpikir untuk tidak pergi kesana, karena dia terlalu pengecut untuk menghadapi kejadian yang tidak bisa diduga. Katakanlah dia pengecut, tapi bagaimanapun juga dia manusia yang tidak ingin kehilangan orang yang dia sayangi.
Jadi, apa yang akan dilakukan Arland setelah ini? Jawabannya adalah tidak ada. Dia hanya akan bertindak disaat situasi mendesaknya untuk mengikuti takdir yang berjalan beriringan bersama waktu.
Semudah itukah? Tentu tidak, Arland akan berusaha untuk menjadi Arland yang biasanya, bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi.Dan kini tibalah waktu dimana semua takdir akan terungkap dengan jelas.
Arland menatap gedung tinggi yang khas akan bau obat-obatan itu, dan mencoba untuk siap akan hal apapun yang akan terjadi selanjutnya.
•°•°•°•
Saat ini Rafael sedang duduk disamping ranjang rumah sakit yang ditempati adiknya yang masih terbaring lemah. Dia menatap adiknya itu dengan tatapan simpati, banyak hal yang telah di alami Aravika hingga saat ini. Kadang Rafael bertanya, 'kenapa bukan dirinya? Kenapa lagi-lagi orang yang dia sayangi yang harus terluka?' Rafael bahkan rela mempertarukan nyawanya untuk orang yang dia sayangi, karena Rafael sudah lelah. Lelah akan takdir yang selalu mengusik kehidupan orang yang dia sayangi, dan senang mempermainkan perasaannya.
Rafael lelah, karena lagi-lagi dia harus merasakan perasaan cemas lagi ketika melihat orang yang berharga baginya harus terluka seperti ini. Sekali saja, dia memohon pada takdir untuk membiarkan dia tinggal bersama orang yang dia sayangi dengan damai. Sekali saja, Tuhan berbaik hati kepadanya dengan mengijinkannya melihat 'orang-orang' itu bahagia.
Tangan Rafael mulai bergerak, berniat untuk mengusap rambut adiknya itu, satu-satunya adik yang dia miliki saat ini. Andai saja Rafael bisa menjadi Rafael yang kuat dan dapat diandalkan, mungkin takdir yang sudah tertulis akan kalah dan menyerah mengganggunya dan dia masih dapat melihat senyum adiknya yang lain.
Rafael melihat kelopak mata Aravika mulai bergerak, dan perlahan membuka. Matanya terlihat menyipit, seakan menyesuaikan cahaya yang berlomba-lomba untuk masuk ke matanya. Dia berusaha untuk menoleh ke sekitarnya, memastikan apa yang telah terjadi padanya. Pandangan Aravika terhenti pada Rafael yang menatapnya penuh kelegaan, dia berusaha untuk menyunggingkan sebuah senyuman dibibirnya yang terasa kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Teen FictionHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...