Budayakan Vote sebelum membaca, ok?
Arland masih berada diperjalanan menuju rumah tempat penyekapan Aravika. Matanya terus melirik sinyal gps yang tertera diponsel canggihnya itu. Tempatnya cukup jauh, berada dipinggiran kota yang cukup sepi penduduknya.
Ponsel Arland bergetar. Fabian menelponnya, disaat Arland masih menginjak pedal gasnya dalam. Arland menggeram kesal. Dia sedang berada disituasi sulit begini, dan masih sempat untuk menelponnya?! Arland bersumpah akan memukulkan kepala Fabian ke dinding, jika dia menelpon untuk hal yang tidak penting.
Dengan rasa kesal yang semakin memuncak, Arland terpaksa mengangkat telepon dari Fabian.
"Halo?"
"Apaan? Awas kalo lo nepon untuk hal yang ga penting!"ancam Arland.
" Ini penting. Rio sama Bani udah nyusul kita bareng polisi. Laporan mereka diproses terus diterima. Untuk sementara kita hanya harus ngawasin rumah itu Land."
"Lo bego! Kita hanya ngawasin rumah itu, tanpa tau gimana keadaan cewek gue, dan gimana nekatnya si Tasya itu?! Goblok!" Teriak Arland emosi.
"Gue tau Land, tapi kita cuma disuruh untuk ngawasin doang. Biar polisi yang bertindak unt—"
"Untuk apa? Untuk apa Bangsat! Untuk ngulur waktu buat Tasya untuk ngelukain Aravika?! Itu mau lo?!"
"Ck. Lo gak bisa berbuat ceroboh Land! Ini perintah dari polisinya langsung, dan gue gak bisa berbuat apa-apa."
"Dan lo mau aja ngikutin ucapan polisi Bego itu. TERSERAH APA KATA LO, GUE AKAN TETAP NGELAKUIN APA YANG GUE ANGGAP BENER!"
Click...
Telepon ditutup langsung oleh Arland. Dia tidak mau menunggu lagi, dia tidak akan mau. Dia tidak mau menunggu untuk mendapatkan hasil yang buruk. Dia akan pastikan semuanya berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan tanpa harus menunggu seperti yang diperintahkan pihak keamanan itu.
"Tungguin gue Ra, gue pasti akan selamatin lo secepat mungkin."ucap Arland dengan penuh tekat yang kuat, yang terlihat di matanya.
Lima belas menit kemudian Arland beserta Fabian yang mengikutinya dari belakang sudah sampai di depan rumah tua itu. Gerbang kokoh yang tinggi menjulang, tetapi sudah kelihatan berkarat itu. Dibalik gerbang yang tinggi itu, terdapat rumah tua, yang sudah menguning dan terdapat banyak lumut pada sisi-sisi yang sering terkena hujan.
Arland terdiam, berusaha untuk mengatur strategi yang akan langsung dia lakukan tanpa memikirkan resikonya. Arland menghampiri Bian yang masih berdiri dibelakangnya, yang juga menatapi rumah bertingkat dua itu.
"Gue masuk kedalam. Kalo gue belum datang kesini 20 menit lagi, gue mohon datengin gue dengan bawa polisi yang dijemput Rio sama Bani,"jelas Arland. Kali ini dia akan bertindak nekat. Membahayakan diri sendiri demi keselamatan Aravika.
Arland akan melangkah, tetapi tangan Fabian memegangi lengannya. Menahannya untuk menyampaikan sesuatu.
"Didalam bahaya Land, mungkin aja Tasya udah sewa orang untuk neglindungin dia disana. Jangan nekat Land, gue mohon,"cegah Fabian dengan wajah datar, namun matanya menyiratkan kekhawatiran yang sangat dia takuti.
"Biarin gue hadapin mereka. Gue cuma butuh lo untuk nyelamatin Ara nanti. Lo bisa abaikan gue, kalau kondisi gak memungkinkan untuk nyelamatin gue Yan." Arland tersenyum tulus ke arah Fabian, yang dibalas senyum tak rela dan khawatir Bian.
"Gue tagih janji lo, kalo lo bakalan balik dengan selamat. Jangan kecewain gue, apalagi Aravika Land. Gue akan coba percaya sama lo kalau lo bisa selamatin Aravika, jaga diri lo baik-baik,"ucap Fabian dengan raut wajah yang sulit diartikan. Entah kenapa, dia merasakan perasaan yang tidak enak. Dia merasa sangat...khawatir? Sepertinya bukan. Ini seperti perasaan takut. Takut melihat sahabatnya, maupun Aravika mengalami bahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Roman pour AdolescentsHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...