Budidayakan Vote sebelum membaca, ok?
Fabian kembali memasuki rooftop, dengan pikiran yang masih melayang-layang memikirkan kejadian yang baru saja dia alami. Dia merasa seperti,... hampa. Wajah Sania yang notabenenya sahabat Aravika masih saja terbayang - bayang di kepala Fabian. Apalagi setelah dia melihat tetesan air mata Sania yang jatuh tepat ketika ia meninggalkan Bian yang tidak menduga akan terjadi hal seperti tadi. Dia menjadi sangat merasa bersalah saat ini.
"Ekhemm..."Arland berdehem berusaha untuk mencairkan suasana yang seketika menegang.
Memang Arland dan yang lainnya tidak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka tadi, apalagi Arland sangat familiar dengan suara dari sahabat kekasihnya itu. Itulah yang membuat mereka semakin penasaran, dan langsung membuat kesimpulan kalau Sania mendengarkan percakapan bodoh mereka tadi, yang sebenarnya mereka buat untuk menyadarkan Fabian akan tindakan bodohnya itu.
Mereka tidak mengetahui, bahwa semuanya akan menjadi begini. Tapi, bukankah Fabian tidak masalah dengan kejadian tadi bukan?! Malahan akan membuat dia lega karena dia tidak akan merasa risih dan terganggu karena gadis yang bernama Sania itu. Tetapi mengapa dia seperti memiliki masalah yang berat?
Hey, ini adalah kemauannya seperti yang Fabian katakan pada mereka tadi.
"Mmm Yan, itu tadi Sania kan?"tanya Bani dengan ragu, takut membuat keadaan semakin kacau.
Bian bergumam pelan, menjawab pertanyaan dari Bani. Sepertinya Bani salah pertanyaan.
"Yan, si Sania itu,... denger percakapan kita tadi?"tanya Rio ragu. Saat ini dia sangat takut untuk bertanya kepada Fabian sebenarnya, namun dia berusaha memberanikan dirinya demi menyadarkan Bian akan tindakan konyol yang selama ini dia lakukan yang tanpa sadar malah menyakiti hati orang lain.
Namun, kembali Bian menjawab pertanyaan mereka dengan gumaman pelan, tidak bersemangat. Seakan kejadian tadi itu adalah kejadian yang paling complicated yang pernah dia alami. Padahal, dia yang selalu membantu para sahabatnya menyelesaikan permasalahan mereka masing-masing dengan kepala dingin.
"Yan, gue cuma mau bilang ini sama lo. Jangan lo sia-sia'in orang yang bener-bener tulus sama lo. Seenggaknya, kalo lo gak suka atau keberatan dengan cara dia buat nyampein perasaannya, bilang, jangan diem aja dan malah lakuin hal yang ngebuat dia sakit hati. Karna untuk ngembaliin kepercayaan orang itu sulit, walaupun kepercayaan itu balik, itu ga akan seperti pertama kali dia ngasih kepercayaannya itu buat lo. Inget kata-kata gue ini baik-baik Yan."Arland menepuk bahunya pelan.
"Don't allow your ego Yan,"gumam Arland.
"Oh iya, satu lagi. Nanti sore kita ngumpul dirumahnya Aravika jam 3 sore buat belajar bareng. Jangan ada yang telat dan jangan ada yang modus sama Ara'nya gue,"tambah Arland. Lalu dia pergi dari sana. Meninggalkan Fabian yang masih merenungi kata-kata Arland bersama Rio dan Bani yang sedang sibuk dengan ponsel dan rokoknya masing-masing.
•°•°•°•
Seperti perjanjian mereka tadi sore, mereka akan berkumpul dirumah Aravika untuk melakukan belajar bersama. Sebenarnya Rio, Bani dan juga Fabian merasa malas saat ini untuk ikut belajar bersama. Namun, Rio dan Bani masih memikirkan apa yang akan mereka hadapi kedepannya, sedangkan Bian masih merasa bersalah setiap kali mengingat kejadian di rooftop sekolah tadi yang membuat dia menjadi tidak bersemangat.
Sedangkan Arland? Jangan ditanya lagi, diantara mereka berempat yang paling semangat untuk belajar bersama adalah Arland. Dia berpikir, kegiatan hari ini akan menjadi salah satu sarana untuk melancarkan 'modus'nya kepada Aravika yang notabenenya sudah menjadi pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Fiksi RemajaHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...