ArVi 24.

6.5K 580 39
                                    

Biasakan Vote sebelum membaca, ok?

Arland mengemudikan mobil sport yang jarang sekali dia gunakan, bukan karna sayang pada mobilnya ini, melainkan dia malas untuk menjadi pusat perhatian semua orang dimanapun dia berada. Tapi saat ini, entah setan mana yang merasuki jiwanya sehingga Arland menggunakan mobil yang bernilai fantastis ini.

Sekarang dia dalam perjalanan menuju Gang. Rawa. Dimana Gavin menantangnya kemarin. Dia bersiap akan menghajar Gavin, jika Gavin memberikan alasan yang tidak jelas atas dendamnya itu. Sedangkan belajar bersama mereka dengan Aravika sudah ditunda Arland untuk hari ini dengan alasan, mereka berempat punya urusan yang penting dengan anak-anak Persada lainnya.

Walaupun Aravika tidak yakin dengan jawaban Arland dan masih ingin menuntut lebih penjelasan yang sepertinya agak janggal ditelinganya itu, Aravika hanya menerimanya dengan ragu-ragu. 'Mungkin emang bener mereka punya urusan sama anak Persada lainnya. Toh juga mereka yang mimpin perkumpulan besar Persada.' Batinnya sehingga dia menganggukkan kepalanya dengan sedikit keraguan disudut hatinya.

Arland sudah menyiapkan rencana dan strategi sematang mungkin, untuk mencegah hal yang dapat terjadi diluar dugaan mereka.

Ponsel Arland bergetar, tertera dengan id caller dengan nama Fabian. Langsung saja Arland mengangkatnya.

"Halo Land."

"Iya, kenapa Yan?"balasnya sambil tetap fokus pada jalan yang ada dihadapannya.

"Kita udah stay di tempat masing-masing, sedangkan Aravika udah kita amankan. Gue udah suruh temen yang lain buat jagain dia."

"Thanks ya Yan. Gue ntar lagi nyampe, jangan ada yang ngasih gerak-gerik mencurigakan dan tetap awasin mereka."

"Oke, yaudah. Kalo gitu kita tetap nungguin lo, gue harap lo hati-hati Land."

"Thanks, gue tutup."

Sambungan ditutup oleh Arland. Tanpa babibu lagi dia langsung menginjak pedal gasnya dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Dia akan segera mengakhiri semua ini. Ya dia akan mengakhirinya.

•°•°•°•

Aravika berjalan menuruni tangga rumahnya satu-persatu. Rafael mengerutkan keningnya saat melihat Aravika dengan balutan baju rumahan yang amat sederhana dan rambut kecoklatan yang dicepol asal, menampakkan leher jenjangnya yang putih mulus.

"Mau kemana dek?"tanyanya begitu Aravika menyadari kehadirannya di ruang televisi itu.

"Mau ke simpang komplek sebentar, mau beli nasi goreng Pak Irfan sebentar. Kakak mau, nggak? Biar aku beliin sekalian,"ucapnya sambil melirik kakaknya yang masih menatap layar datar di hadapannya.

"Boleh deh. Gue nitip satu ya, yang pedes, gak pake bawang goreng,—"

"Gak pake timun sama tomat juga, trus kecapnya dikit aja. Sekalian beliin kerupuknya juga, ya!"sambung Aravika, begitu tau arah permintaan kakaknya yang seperti biasanya jika ingin membeli nasi goreng.

"Hehehe..." Rafael menunjukkan cengirannya yang membuat Aravika menggelengkan kepalanya. "Tuh, hapal banget. Yaudah, cepetan ya belinya, gue udah laper soalnya."

Aravika mendengus kesal, "berasa pembantu gue,"batinnya.

"Ya gapapa, sekali-kali lo yang gue suruh-suruh. Biar ada pengalaman jadi pembantu, gitu."

"Sialan lo, kak,"gerutunya pelan yang membuat Rafael semakin tertawa geli melihat ekspresi kesal adiknya.

"Gue pergi dulu ya, kak. Kalo dicariin mama, bilangin gue ke warung beli nasi goreng pak Irfan,"ucapnya sambil berlalu pergi dari hadapan Rafael.

My Possessive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang