Gue kebetulan pengen buat cerita dari sudut pandang Aravika. So, ini Pov nya Aravika. Semoga suka : )
Aravika POV
Aku menatap ke arah jendela yang kebetulan terletak tepat di sebelah bangsal rumah sakit. Tirai jendela yang berwarna putih polos tertiup angin hingga melambai-lambai tanpa lelah sejak tadi.
Fokusku sedang tidak berada disini. Entah mengapa aku menjadi lebih sering melamun akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, ketika satu persatu fakta yang tidak dapat kau bayangkan sebelumnya terbuka lebar dihadapanmu, menunjukkan diri secara gamblang, kira-kira apa responmu? Apakah responmu akan sama sepertiku? Mudah melamun, terlalu fokus pada otak yang masih berusaha untuk mengolah informasi demi informasi yang mungkin sampai sekarang masih tidak dapat kau cerna. Atau lebih parah lagi? Mungkin seperti, bunuh diri atau bertindak seperti orang depresi yang harus mengkonsumsi obat antidepresi secara berkala.
Jadi aku bersyukur karena sampai saat ini aku masih bertindak seperti orang waras walaupun sudah dihadapkan oleh berbagai fakta yang begitu menyakitkan.
Semua pikiranku mengalir menuju satu nama yang menjadi sumber segala fakta yang satu persatu akhirnya terkuak. Arland. Entah mengapa aku menjadi sedikit paranoid mengingat bahwa aku memang orangnya seperti itu sejak kecil. Ketika mengingat nama cowok itu, berbagai sisi dalam tubuhku mulai menampakkan dirinya. Ada limapuluh persen sisi di hatiku yang menyuruhku untuk percaya pada apa yang dijelaskan secara tidak langsung oleh kak Rafael. Bahwa Arland sama sekali tidak bersalah dalam hal ini.
Namun, seperti yang sudah aku katakan tadi bahwa ada sisi lain yang begitu menentangnya. Sisi itu seakan menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, jika saja Arland tidak berbuat ceroboh pada saat itu mungkin semuanya akan tetap baik-baik saja hingga saat ini.
Tetapi jika berbicara mengenai kecerobohan, setiap manusia pasti pernah melakukan hal yang ceroboh. Dan itulah yang sedang dilakukan Arland secara tidak sengaja. Namun sisiku yang menentang selalu saja bersikukuh bahwa kecerobohan Arland sangat besar, hingga menghancurkan semuanya. Menghancurkan semua yang sudah dibangun dengan baik dari awal.
Aku berusaha untuk menghentikan perdebatan dalam pikirannya sendiri. Bagaimana bisa aku menyalahkan Arland yang sama sekali tidak bersalah dalam hal ini? Namun lagi-lagi aku dihantui oleh amarah dan rasa rindu yang menyeruak. Aku merindukan kak Raflina. Sosok lembut yang selalu menemaniku pada masa aku kecil selalu mengingatkanku pada sosok Mama yang terkadang tidak bisa menemaniku karena harus mengurusi kebutuhan Papa dan Kakak Rafael.
Merasa bahwa pipiku sedikit basah, aku langsung menghapus jejak air mata yang dari dulu kupendam. Aku tidak ingin menjadi gadis cengeng. Panutanku sejak dulu adalah kak Rafli yang tidak pernah cengeng dalam menghadapi apapun. Entah kenapa ketika aku mengalami kehilangan pada memori masa kecilkupun aku seakan masih berusaha untuk meneladani kak Rafli yang tegar dan lembut. Mungkin ada semacam ikatan batin antara aku dengan dirinya.
Oke, lupakan saja itu. Aku tidak mau semakin lama semakin terhanyut oleh kenangan yang tidak bisa lagi aku ulangi. Kenangan yang terlalu bahagia dan berharga. Terlalu berharga sampai-sampai aku tidak berani untuk mengungkit-ungkit kejadian itu. Takut membuat orang yang disekitarku kembali menyadari bahwa ada yang kurang ketika mengingat itu. Yaitu orang yang dikenang, kak Rafli sendiri.
Apa aku tadi sudah menyebutkan bahwa aku ingin melupakannya agar tidak larut dalam kesedihan?
Baiklah, sekarang pikiranku mulai ngawur dan entah kenapa ujung-ujungnya kembali pada Arland. Wajah Arland yang begitu frustasi kembali menghiasi benakku. Aku memang kasihan melihat wajahnya yang seperti itu, biasanya raut wajahnya itu selalu optimis begitu juga auranya. Walau aku tahu kalau dia tidak perlu rasa kasihanku melainkan dia butuh maaf dariku. Namun, entah pengaruhku yang kuat terhadapnya atau apa(tolong jangan bilang aku kepedean) dia menjadi seperti tidak.....memiliki semangat hidup lagi.
Dalam hal ini aku menjadi sedikit merasa bersalah. Namun aku memerlukan waktu. Anggap saja aku egois atau apapun tapi aku memang benar-benar membutuhkan waktu untuk memulihkan luka yang tidak sengaja tertoreh di atas luka lama(sok puitis banget -_-).
Kalianpun pasti memerlukan waktu untuk membuat perasaan kalian lebih baik, bukan? Dan akupun begitu, aku tidak mau dikuasai emosi ataupun aura negatif lain yang membuatku bisa saja semakin membencinya atau membuatnya terluka tanpa sengaja oleh kata-kataku.
Kalau menurut kalian memaafkan itu mudah, mungkin memang benar. Namun untuk masalah yang cukup besar, memaafkan tidak semudah itu. Diperlukan hati yang cukup tulus dan tidak menampung amarah dan dendam lagi untuk bisa memaafkan, kalau tidak maka kau belum bisa disebut memaafkan.
Dan aku juga ingin melihat, seberapa keras usaha Arland untuk membuatku memaafkannya. Penjelasan seperti apa yang akan diberikan Arland untuk bisa membuatku mengerti dengan mudah. Walau aku tahu itu akan sulit, namun hati yang retak tak akan kembali mulus lagi walaupun sudah kau perbaiki berulang kali, pasti ada sisi yang luput dari pengawasanmu.
Dan inilah aku, tolong jangan menyudutkanku karena aku yang tidak bisa dengan mudah memaafkan dan semua kembali seperti semula. Karena sudah aku jelaskan tadi bahwa diperlukan hati yang tulus tanpa dendam dan amarah untuk memaafkan.
•°•°•°•
Pendek?
Iya, karena ini cuma mau bahas dari sisinya Aravika (mana tau ada yang marah-marah sama dia?)Ingat, perlu hati yang tulus tanpa dendam dan amarah untuk bisa memaafkan. Kalau kalian selama ini memaafkan cuma sekedar, berarti kalian belum benar-benar memaafkan.
Dan gue tau ini cerita abal banget, rencana sih mau dihapus.
See you in the next ArVi...

KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Badboy
Teen FictionHighest ranking: #34 in teenfiction (17-02-17) #26 in teenfiction (19-02-17) Potongan-potongan memori itu kembali, membawa luka lama yang kembali berdarah. Menyisakan kesakitan bila diingat kembali. Dan disaat semua sudah mulai berubah, disaat 'nyam...