Devi dan Veranda terus berlari menurusi rimbunan pepohonan yang lebat. Sinar matahari pagi yang mulai muncul sedikit membantu mereka. Tapi, Veranda juga beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung batu atau akar pohon.
Tiba-tiba Veranda berhenti, dia memegangi pinggangnya sambil mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.
"Gue udah nggak kuat lagi...," keluh Veranda.
Devi menghentikan larinya dan berbalik ke arah Veranda. "Kita harus terus lari atau mereka akan menangkap kita," kata Devi memberi semangat pada Veranda.
"Tapi, gue capek.. perut gue sakit dan gue haus," kata Veranda terengah-engah.
Devi hanya menghela napas, dia mengerti Veranda tidak akan bisa diajak lari terus-menerus. Apalagi jalan yang tidak rata dan bervariasi akan membuat siapa pun cepat lelah, Terutama Veranda yang hampir tidak pernah berolahraga.
"Lagian kenapa lo harus bawa gue naik ke bukit sih? Kenapa tadi nggak belok kanan aja, yang lurus dan nggak nanjak gini," protes Veranda.
"Itu arah yang mereka pikirkan, mereka nggak mungkin berpikir kita bakal naik ke bukit," jawab Devi.
"Iya, tapi akibatnya betis gue pegal nih. Besok pasti betis gue jadi segede talas bogor," jawab Veranda.
Ucapan terakhir Veranda mau tidak mau membuat Devi tersenyum kecut, Devi lalu melihat ke sekelilingnya, terutama kearah belakang mereka. Walau tidak terlihat pasukan mengejar, bukan berarti mereka sudah aman. Cepat atau lambat pasukan itu pasti akan menyadari bahwa mereka salah arah, dan pasti berbalik mencari ke bukit ini.
Devi merogoh saku celananya, meraih HP-nya. Maksudnya untuk melihat GPS, dimana posisi mereka.
Kok mati? tanya Devi dalam hati setelah melihat layar HP-nya, dia menekan tombol power, tapi HP-nya tidak juga menyala.
Sial! Baterainya habis! saat genting begini... Devi tidak tau berapa lama HP-nya mati. Tapi, yang jelas ini masalah besar, karena dengan demikian Jatayu tidak akan dapat melacak HP-nya.
Tapi, tidak ada waktu untuk menyesali hal ini. Dia harus bisa menyelamatkan Veranda, dengan atau tanpa bantuan Jatayu.
"Tunggu disini," ujar Devi pada Veranda.
"Lo mau kemana?"
"Melihat situasi di depan, siapa tau ada perumahan penduduk, disana kamu bisa minum."
Devi berlari ke arah depan, dan menghilang di balik pepohonan. Tidak berapa lama kemudian dia kembali.
"Ada sungai di depan. kita bisa istirahat di sana," ujarnya.
****
Salah seorang petugas mendatangi seorang perwira berpangkat Letnan dua yang berdiri di samping rel, mengamati prajurit lainnya yang sedang sibuk mencari Devi dan Veranda di kejauhan. Namanya Letda Ronal, wakil komandan Kesatuan Kobra yang menggantikan memimpin pasukan jika kapten Mario tidak berada di tempat. Perjalanan kereta api ini memang di pimpin oleh Letnan dua berusia 41 tahun tersebut, karena kapten mario memilih menggunakan mobil menuju tempat mereka.
"Kita tidak bisa berhenti terlalu lama, karena itu akan mengganggu jadwal perjalanan kereta lain, dan akan mengundang kecurigaan dari kantor," kata si petugas kereta.
Letda Ronal menoleh ke arah si petugas kereta, sambil berpikir. Petugas kereta itu benar, sebetulnya perjalanan kereta ke surabaya ini di luar jadwal resmi PT KA, dilakukan oleh oknum pegawai PT KA yang dibayar untuk melakukannya. Jadi, sebisa mungkin mereka harus sembunyi-sembunyi dan tidak mengganggu jadwal perjalanan yang sesungguhnya. Kereta yang berhenti terlalu lama di satu tempat akan mengganggu perjalanan kereta lain atau bisa mengakibatkan kecelakaan.
Letda Ronal segera memanggil salah seorang anak buahnya. "Bentuk satu regu untuk mencari mereka, dan yang lainnya segera melanjutkan perjalanan," perintah Letda Ronal.
"Baik, komandan," jawab anak buahnya.
"Bagaimana dengan anggota kita yang gugur, sudah diurus?" tanya Letda Ronal lagi.
"Sudah, komandan. Kami telah mengurus mereka, termasuk anggota Jatayu yang gugur dan terluka."
"Anggota Jatayu, ya?" Tiba-tiba Letda teringat sesuatu. "Biar saya sendiri yang mengurus anggota Jatayu itu," lanjutnya, tangan kanannya membuka penutup sarung pistol yang tergantung di pinggang kanannya.
****
Devi mencuci mukanya dengan air yang mengalir deras, ada perasaan segar kembali saat air yang dingin menyentuh wajahnya.
"Kamu nggak cuci muka? airnya seger loh...," Devi menawarkan pada Veranda.
Veranda menggeleng pelan. Devi lalu mengambil daun pisang dan melipatnya hingga menjadi corong sehingga bisa menampung air. Dia menampung air dari sungai, lalu memberikannya pada Veranda.
"Apa nih?" tanya Veranda.
"Katanya kamu haus..."
"Iya.. tapi masa minum air sungai?"
"Emang kenapa?"
"Kan kotor.."
"Kata siapa? liat dulu..."
Veranda melihat air yang ada pada daun pisang yang di bawa Devi. Air itu memang terlihat jernih, sama sekali tidak berwarna dan berbau.
"Tapi, ini kan air mentah..," Veranda masih mencoba menolak.
"Tapi air sungai ini jauh lebih bersih dan lebih sehat daripada air mineral kemasan yang dijual itu. Di pegunungan sini, kita mengambil dari mata airnya langsung, jadi belum terkontaminasi polusi apapun," Devi menjelaskan. "Tapi, terserah kamu. Kalau kamu nggak mau minum ya nggak papa. Tapi, aku nggak tau kapan kita bertemu penduduk atau penjual minuman," lanjutnya.
Veranda melihat kembali air daun pisang yang masih dipegang Devi, dia masih ragu-ragu. Tapi, rasa haus yang amat sangat akhirnya mengalahkan keragu-raguannya. Dia mengambil wadah daun pisang tersebut dan meminumnya. Awalnya hanya sedikit, tapi makin lama Veranda meneguk semua air yang ada dalam wadah pisang tersebut.
"Gimana? enka kan? nggak kalah dengan air kulkas, kan?" tanya Devi.
Veranda mengangguk. "Mau nambah? sini aku ambilin," Devi menawarkan.
"Nggak usah, biar gue ambil sendiri. Sekalian gue mau cuci muka," jawab Veranda.
"Ya udah, hati-hati aja tempatnya agak licin."
Sambil menunggu Veranda, Devi memeriksa pistol nya. Masih tersisa enam butir peluru lagi di dalam magasin pistol, dan masih ada dua puluh butir di dalam magasin cadangan di saku jaketnya.Tidak akan cukup jika harus melawan satu kompi pasukan bersenjata lengkap, jadi satu-satunya yang bisa dilakukan Devi sekarang adalah membawa Veranda terus menghindar, hingga mereka mendapat pertolongan atau sampai ke tempat aman.
"Thanks," kata Veranda saat selesai mencuci muka, wajahnya terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Untuk apa?" tanya Devi.
"Karena lo udah mau balik dan nyelametin gue."
"Ini belum selesai. Kita belum selamat."
"Tapi, bagaimanapun gue senang lo datang,"
Devi terdiam.
"Nama lo Devi, kan?" tanya Veranda lagi.
"Devi Sabilla Putri, tapi aku biasa di panggil Devi," jawab Devi.
"Tapi gue lebih suka manggil lo Kinal. Nama pertama yang gue kenal."
"Kinal itu nama sandi ku dulu, dan sekarang aku tidak boleh memakai nama itu lagi. Naman Kinal akan diberikan pada agen lain," Devi menjelaskan.
"Gue nggak perduli. Gue akan tetap manggil lo Kinal, sampai kapan pun," tandas Veranda.
Devi hanya terdiam. Tiba-tiba dia mendengar suara sayup-sayup di belakangnya.
"Cepat sembunyi," ujarnya sambil menarik tangan Veranda.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
First Girl
General Fictionjalan cerita, dan judul yang sama cuma ubah nama karakter jadi anak-anak JKT48, cerita dari Luna Torashyngu. cekidot ^.^