Part 36

1.1K 127 6
                                    

"Kenapa ibu lakukan hal itu?"
Pertanyaan Devi membuat Kolonel Melo yang sedang melihat keluar jendela menoleh.
"Apa maksud kamu? Saya lakukan apa?" Tanya Kolonel Melo.
"Ibu terlibat dalam penculikan Veranda, kan?"
Mendengar ucapan Devi, Kolonel Melo mengernyitkan kening.
"Axphitalin. Naomi menggunakan axphitalin untuk membuat dirinya koma. Axphitalin bukanlah obat yang gampang didapatkan oleh sembarang orang, bahkan agen pemerintah sekalipun. Naomi tidak mungkin mendapat Axphitalin dari orang lain. Dia juga sempat mengatakan mendapatkan obat ini dari orang dalam jatayu. Di jatayu, hanya satu orang yang mempunyai akses untuk mendapatkan Axphitalin, yaitu ibu," kata Devi lagi.
Kolonel Melo tertegun.
"Apakah itu benar, bu?" Tanya Devi.
"Kamu percaya saya melakukan hal itu?" Kolonel Melo balik bertanya.
"Inginnya saya gak percaya. Ibu salah satu wanita yang saya hormati dan sudah saya anggap sebagai pengganti ibu saya sendiri. Karena itu saya bertanya langsung pada ibu. Apakah ibu yg memberi Axphitalin pada Naomi? Dan apakah ibu terlibat dalam penculikan Veranda?"
Kolonel Melo diam sejenak sambil menatap Devi.
"Saya tidak melakukannya" jawab Kolonel Melo akhirnya.
Devi menatap wajah wanita yang sangat dihormatinya itu. Kekecewaan mewarnai wajahnya. Tapi, dia tidak berkata apa-apa.
Kolonel Melo melihat jam di tangannya. "Saya ada perlu, jadi tidak bisa lama-lama di sini," kata Kolonel Melo akhirnya.
Wanita itu mendekati Devi. Tangannya lalu membelai rambut gadis tersebut. "Cepat sembuh ya... dan jangan berpikir macam-macam," pesan kolonel Melo.
"Makasih, bu...," jawab Devi lirih.
Devi menatap kepergian Kolonel Melo, hingga wanita itu menutup pintu kamar. Tidak lama kemudian air mata menetes dari mata bening Devi. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya.
Kenapa ibu berbohong? Batin Devi sedih.

****

Menjelang tengah malam, suasana rumah sakit terasa sepi. Hanya tersisa beberapa perawat yang memang bertugas malam, dan segelintir pengunjung yang menunggui kerabat yang sedang dirawat. Itu pun tidak di seluruh bagian yang benar-benar telah kosong.
Hujan yang turun di malam hari membuat udara dingin. Hal itu membuat suasana semakin mencekam. Termasuk bangsal tempat Devi di rawat. Tidak terlihat satu pun orang dalam di dalam bangsal.
Kecuali sebuah bayangan hitam yang baru saja tiba. Entah bagaimana caranya, sesosok tubuh mengenakan pakaian dan topeng serba hitam tiba-tiba telah berada di depan kamar Devi. Bayangan itu berhasil melewati meja perawat jaga yang berada di sudut koridor.
Orang bertopeng itu mengintip ke dalam kamar untuk memastikan Devi telah tertidur pulas. Setelah itu, perlahan dia membuka pintu kamar, dan berjalan perlahan ke arah tempat tidur Devi.
Kamu terlalu banyak tau! Batin orang bertopeng tersebut.
Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku baju hitamnya. Sebuah alat suntik yang telah terisi obat yang akan dimasukkan ke slang infus Devi.
Tangan kiri orang tersebut memegang slang yang akan disuntik obat, dan...
"Saya kira ibu akan langsung menembak saya..."
Suara Devi mengejutkan orang bertopeng tersebut dan membuatnya mundur selangkah.
Devi membuka mata, lalu menegakkan tubuh dan duduk diatas tempat tidur.
"Ibu akan membunuh saya? Untuk menutupi rahasia ibu?" Tanyanya.
Merasa terpojok, orang bertopeng itu mengeluarkan pistol yang disembunyikan di pinggangnya.
"Kamu benar, seharusnya saya menembakmu..." kata orang bertopeng itu dengan suara yang sangat dikenal Devi.
Suara Kolonel Melo.
Saat Kolonel Melo hendak menarik pelatuk pistolnya, terdengar letusan pistol pelan dari arah samping. Kolonel Melo mengaduh dan pistol yang dipegangnya terlepas dari genggamannya.
Kolonel Melo terduduk sambil memegangi tangan kanannya yang mengeluarkan darah. Dia menoleh ke arah penembak misteriusnya.
Hanna berdiri di sudut lain kamar sambil memegang pistol berperedam yang terarah pada Kolonel Melo. Dialah tadi yang menembak tangan perwira wanita itu dan menggagalkan usahanya untuk membunuh Devi.
"Kamu... kaku menjebak saya..," kata Kolonel Melo geram sambil menahan sakit.
"Kenapa ibu berbohong? Kenapa ibu ingin membunuh saya?" Tanya Devi. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
"Saya sebetulnya tidak ingin membunuhmu. Saya sebenarnya ingin menghindarkan mu dari masalah ini. Saya sengaja mengeluarkan mu dari jatayu supaya kamu tidak terlibat," jawab Kolonel Melo.
Jawaban itu membuat Devi terkejut.
"Jadi... kebakaran di mall itu? Ibu yang melakukannya?" Tanya gadis itu.
"Saya tau sifatmu. Kamu pasti akan melindungi Veranda mati-matian, bahkan dengan mengorbankan dirimu. Tapi, saya terlanjur menganggap kamu sebagai anak saya, dan saya sayang kamu. Saya tidak ingin kamu tewas karena berhadapan dengan pasukan khusus yang sangat terlatih. Saya ingin kamu tetap hidup, karena itu saya terpaksa mengeluarkan mu dari jatayu..."
Suasana mendadak hening. Devi tidak tau harus berkata apa. Hatinya tiba-tiba bimbang.
"Saya tidak menyangka kamu kembali dan berusaha menyelamatkan Veranda. Saya tidak menyangka kamu menganggap menjaga Veranda lebih dari sebuah tugas."
"Menjaga dan melindungi Veranda bukan hanya tugas, tapi juga kewajiban. Veranda telah jadi sahabat saya, dan saya kembali untuk menyelamatkan sahabat saya," ujar Devi lirih.
"Kenapa anda melakukann itu? Anda mengkhianati jatayu dan negara yang telah anda bela selama bertahun-tahun," tukas Hanna sambil tetap menodongkan senjata.
Devi menatap Hanna sambil memberi isyarat bahwa dia tidak perlu menodongkan senjatanya terus, karena Kolonel Melo sudah tidak berdaya dan tidak bersenjata. Hanna pun mengerti arti isyarat Devi dan menurunkan senjatanya.
"Setia pada negara selama bertahun tahun, dan apa yang saya dapat? Tidak ada!" Jawab kolonel Melo.
"Ibu...," gumam Devi.
"Suami saya pergi meninggalkan saya karena saya jarang ada dirumah. Anak pertama saya meninggal saat saya sedang bertugas di luar kota. Dan sekarang, anak kedua saya menderita sakit dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk operasi. Tabungan dan semua yang saya punya tidak cukup untuk membiayai operasinya, dan tidak ada seorangpun yang bisa membantu. Itu yang saya dapatkan karena mengabdi sepenuh hati pada negara," kata Kolonel Melo.
"Tapi, ibu kan seorang perwira...," sahut Devi lagi.
"Apa artinya pangkat? Gaji perwira tinggi yang jujur dan loyal pada negara sekalipun sekarang ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tadinya saya tidak percaya akan hal ini, tapi akhirnya saya merasakan sendiri. Seorang abdi negara tidak akan bisa hidup layak di negara ini jika tetap berpegang teguh pada sumpah dan janji yang diucapkannya saat dilantik. Tidak akan bisa," tukas Kolonel Melo.
"Tapi, itu tidak lantas membenarkan apa yang telah anda lakukan. Apalagi perbuatan anda bisa menimbulkan ketidakstabilan negara," sahut Hanna.
"Kak hanna..."
"Siapa yang menyuruh anda? Hendra Kusuma? Atau ada nama lain lagi?" Tanya Hanna.
"Kamu sudah tau. Kalian semua sudah tau," jawab Kolonel Melo.
"Lalu Naomi dan Kak Keenan?" Tanya Devi lagi.
"Naomi sangat ambisius. Dia ingin menjadi agen nomor satu, dia bersedia melakukan apa saja untuk itu," jawab kolonel Melo.
Devi sekarang mengerti. Naomi ikut terlibat menculik Veranda. Dia lalu diskenariokan akan menyelamatkan Veranda nanti, tentu saja setelah semua tuntutan yang diminta si penculik dipenuhi oleh pemerintah. Dengan demikian seolah-olah dia akan sangat berjasa dan bisa meningkatkan reputasinya di jatayu.
Tapi, skenarionya itu berantakan saat Devi berhasil masuk ke kereta. Naomi terpaksa menampakkan diri.
"Sedangkan Keenan... dia akan melakukan apa saja demi kekasihnya," lanjut kolonel Melo.
Devi terdiam, tidak tau harus berkata apa. Dia kembali bingung, apa yang harus dilakukannya sekarang. Niat awalnya untuk menjebak Kolonel Melo dan menangkapnya beserta barang bukti keterlibatan perwira itu tiba-tiba meredup. Dia sekarang jadi jatuh kasihan. Apalagi Kolonel Melo telah berjasa besar dalam kehidupan Devi. Dialah yang melatih dan membimbing Devi sejak masih anak-anak hingga seperti sekarang.
Tanpa sepengetahuan Devi, Kolonel Melo beringsut perlahan, menuju pistolnya yang terpental dan tergeletak di bawah tempat tidur, tidak jauh dari dirinya.
"Bagaimanapun anda harus mempertanggung jawabkan perbuatan anda," kata Hanna lagi.
"Saya tau, saya akan bertanggung jawab!"
Seusai berkata demikian, Kolonel Melo tiba-tiba bangkit, dan langsung menembakkan pistolnya ke arah Hanna.
Hanna yang tidak menyangka tindakan Kolonel Melo, jelas tidak siap. Tak ayal lagi tubuhnya terkena peluru, membuat dirinya terjerembap kebelakang.
"Kak Hanna!"
Devi yang menyaksikan Hanna roboh segera bertindak cepat. Spontan dia mengambil garpu logam yang berada di meja samping tempat tidurnya yang baru saja digunakan untuk memakan mangga. Dengan cepat garpu itu dilemparkannya ke arah Kolonel Melo.
Tepat menancap di leher wanita itu!
Kolonel Melo terhuyung. Sebelum roboh dia sempat menembak ke arah Devi. Tapi, Devi yang telah bersiap menjatuhkan dirinya dari tempat tidur. Dia tidak perduli akan luka-lukanya yang belum sembuh, juga tidak perduli dengan jarum infus di tangannya yang terlepas karena gerakkannya itu memuncratkan darah segar disekitar tempat tidur.
Kolonel Melo tersungkur. Walau hanya terkena sebuah garpu, lemparan Devi tepat mengenai urat yang sangat vital sehingga melumpuhkannya.
Maafkan saya Bu, batin Devi sambil menatap tubuh kolonel Melo yang langsung diam tidak bergerak.
Devi lalu menoleh ke arah Hanna.
"Kak Hanna...," panggil Devi.
Ternyata Hanna tidak tewas. Peluru pistol Kolonel Melo hanya mengenai bahu kirinya. Gadis itu segera bangkit.
"Hampir saja..," kata Hanna.
"Kak Hanna nggak papa?" Tanya Devi.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Hanna balik bertanya sambil memegangi bahu kirinya yang terserempet peluru.
"Kayaknya harus panggil perawat deh...," jawab Devi sambil menatap lengan kirinya yang mengeluarkan darah di titik bekas jarum infus.

TBC

MAAF YE KALO ADA TYPO NYE DAN MAAF JUGA BARU UPDATE HEHE ^.^

First GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang