11

66 5 0
                                    

Nina baru sadar dari pingsannya, 15 menit lalu, tidak, ini tidak terlihat sadar sepenuhnya. Nina masih belum sepenuhnya sadar, alam bawah sadarnya masih berkeliaran.

   Nina menatap langit-langit kamar yang dia tempati sekarang dengan tatapan kosong. Ini bukan kamarnya di villa. Ini di rumahnya. Di kamarnya. Pikirannya kosong. Dia tak bergerak sedikitpun dari tempatnya terbaring. Seperti boneka tak bernyawa.

  "Nina, kamu gak apa-apa, nak?" suara berat dengan nada dingin, namun ada kekhawatiran di suara itu. Seorang laki-laki paruh baya duduk di bangku sebelah tempat Nina terbaring.

  "Masih belum ada respons ya, pa?" tanya Dion pada laki-laki paruh baya itu yang diakuinya sebagai sang ayah. Doni.

  "Ya, apa yang terjadi di sana?" tanya Doni pada putra sulungnya.

  "Kalau itu, aku gak tau pasti. Tapi, kata temennya Nina, dia pingsan tiba-tiba, penyebabnya dia pingsan pun temennya gak tau"

  "Dia melihat Nina pingsan?"

  "Iya, di depan dia malahan"

  "Begitu ya..."

   Tak ada yang bicara lagi. Mereka memilih diam saja, tak ingin melanjutkan tanya jawab lagi. Doni terus menatap wajah pucat putrinya,tak ada pergerakan sedikitpun, bahkan Nina tidak mengedip sekalipun. Apa yang terjadi padanya?

  "Pa" panggil Dion pelan. Doni menoleh melihatnya.

  "Ada apa?"

  "Nina... kenapa dia membenci aku? Aku kakaknya, kenapa dia bisa gak suka sama aku?"

  "Mungkin karena Nani" jawab Doni pelan. Dion memandang ayahnya meminta jawaban yang jelas.

  "Kamu ingat Nani, Yon?" tanya Doni. Dion hanya mengangguk sebagai jawabannya.

  "Nina sangat menyayangi Nani, walau dia terlihat kasar pada Nani, tapi dia menyayangi Nani dari yang kamu kira. Sifat kasarnya itu dia berikan pada Nani, agar kembarannya itu tidak terlalu bergantung pada orang lain, tentunya pada dirinya juga" jelas Doni, dia memberi jeda sesaat.

  "Dia ingin yang terbaik buat Nani. Karena Nani sering sakit-sakitan, dia bertolak belakang dengan Nina. Dari perbedaan itu, mereka saling mengisi satu sama lain lubang yang ada di hati mereka" lanjutnya.

  "Aku tau mereka berbeda jauh secara fisik, tentunya secara kepribadian juga. Nani yang lemah lembut dan Nina yang kasar dan sadis. Sebenernya, papa mau ngejelasin apa sih?" tanya Dion sedikit bercanda, dia mendekati tempat Nina berbaring, dia duduk berlutut di pinggir ranjang itu, menggenggam tangan Nina yang terasa dingin seperti tak ada lagi darah yang mengalir di sana.

  "Ah... Iya, ya. Ya... Intinya Nina sayang Nani, dan kamu selalu tidak mempedulikan Nani, mungkin itu yang buat Nina gak suka sama kamu, Yon, dan Dion, kamu sayang adikmu kan?" tanya Doni. Dion mengangguk.

  "Jaga dia baik-baik, sebagai seorang kakak kamu harus bisa jaga adikmu"

  "Ya, akan aku lakukan"

  "Bagus, papa pergi dulu, ada meeting di kantor"

  "Ya"

   Doni keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan yang luas itu. Dion masing menggenggam erat tangan adiknya, tak ingin melepasnya.

  "Gue gak akan buat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Gue gak akan kehilangan lo karena kesalahan yang sama seperti Nani, gue janji" ucapnya pelan. Dion mencium punggung tangan adiknya itu.

   Dia tak ingin kehilangan lagi. Dia tak ingin menyesal untuk ke sekian kalinya lagi. Dia tidak mau itu terjadi lagi.

  "Na, lo denger gue kan? Kalo lo denger, cepet sadar, cepetan caci-maki gue, cepetan marahin gue, Nina" ucapnya lirih, Dion tersenyum miris melihat tak ada respons dari gadis itu.

  Dia menunduk, pasrah. Dion hanya bisa menunggu sampai adiknya siuman saja.

  "Ternyata... kakak... gue... bisa... nangis... juga ya" suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar jika Dion tidak menajamkan pendengarannya.

  "Nina" Dion terlihat lega setelah mendengar suara adik tersayangnya itu.

  "Lepasin tangan lo" gadis itu masih sempat menampilkan wajah kesalnya.

  "Coba aja kalo lo bisa" tantang Dion, dia tau Nina tidak akan bisa melepas tangannya dari genggamannya.

  "Lo memang nyebelin dari dulu" kata gadis itu pasrah. Dia tidak bisa melepas tangannya sama sekali.

   Dion tersenyum lembut padanya. Nina hanya menatapnya tanpa ekspresi. Nina tidak bisa menggerakkan tubuhnya dengan mudah, tenaganya hilang semua. Dia bahkan tidak bisa menepis tangan Dion yang mulai mengacak-acaki rambutnya.

  "Na, lo benci sama gue?" tanya Dion sedikit ragu untuk menanyakan hal itu. Dia takut mendengar jawab dari adiknya itu.

  "Iya..." Nina menjawab pelan, tanpa melihat lawan bicaranya.

  "Oh... Begitu ya?" Dion menunduk lesu, dia sudah tau jawaban adiknya. Kenapa dia masih ingin bertanya?

  "Ya, iya, gue benci sama lo, itu dulu saat lo gak peduli sama Nani. Gue gak suka banget sama lo. Lo itu kakak gue juga Nani, tapi lo acuh banget sama dia, lo cuma peduli sama gue. Jadi, gue menjauh, biar lo bisa deket sama Nani. Begitu pemikirian gue, alangkah bego gue ini, lo pasti makin gak suka sama Nani, kan" cerocos Nina tak terhenti, Dion hanya bisa diam menyimak dengan baik.

  "Gue pikir saat gue ngejauhin lo, Nani bisa deket sama lo. Wah, salah gue ternyata. Lo deket sama dia hanya karena dia mirip banget sama gue, lo nganggep Nani itu gue. Ya, ampun. Sakit banget itu, nusuk sampe nebus ke hati" Nina refleks menggenggam erat tangan Dion yang menggenggam tangannya juga. Dion masih diam, dia memilih menjadi pendengar saja.

  "Tapi, Nani terlalu sayang sama lo. Jadi, dia gak peduli, yang penting lo seneng, lo bahagia katanya, sebelum operasi itu" Dion menunduk lagi, dadanya sesak mendengar perkataan Nina, begitu pula sebaliknya, Nina tak ingin melanjutkan ocehannya lagi, tapi dia tetap melanjutkannya.

  "Membenci sama dibenci itu gak enak, kak" kata Nina pelan. Dion membelalakkan matanya, dia baru saja mendengar adiknya memanggilnya kak untuk kesekian kalinya, sebelum sempat berhenti 5 tahun lalu.

  "Nani, dia punya permintaan buat aku, katanya aku harus baikkan sama Kak Dion, demi dia. Tapi, sebenernya, aku juga mau baikkan sama kakak buat aku juga, buat Nani, buat kakak. Aku mau kembali lagi di saat dulu kita main bareng, ketawa bareng, sedih bareng, seneng bareng, serba bereng-bareng dech"

   Mata Nina mulai basah, seluruh air matanya sudah menumpuk di pelupuk. Bersiap untuk terjun keluar.

  "Aku mau kayak dulu" ucap Nina, dia terisak. Dion tersenyum miris.

  "Ya, kakak juga mau kayak dulu lagi" katanya, Nina menatapnya, bukan dengan tatapan benci lagi, tapi tatapan lembut.

  "Aku kangen sama Nani, kak" ucap Nina parau. Dion mengangguk, mengerti.

  "Aku juga kangen sama mama, kak. Mama kapan sadarnya ya?" Nina kembali menutup matanya. Dion hanya bisa menghela nafas berat mendengar pertanyaan adiknya itu.

  "Oya, ini dimana?" tanya Nina, baru sadar ada yang berbeda di kamarnya.

  "Kamar kamu lah, dimana lagi"

  "Hah?"

  "Ini kamar kamu, di rumah. Bukan di villa"

   Nina membelalak terkejut, "What?!"

  "There is something wrong?"

  "Of course. Kenapa gak ngasih tau aku dulu?!"

  "Kamu nya pingsan, mau gimana lagi?"

  "Damn you, Dion. Terus, temen-temenku mana? Mereka masih di sana?"

  "Gak, mereka juga ikut balik, cuma Grace, Tamara sama Lenar doank"

  "Okay"

   Dion hanya nyengir melihat adiknya yang menghela nafas pelan. Dia tidak menyangka akan berbaikan dengan Nina secepat ini. Ada yang berbeda dari gadis itu, apa ini kepribadian yang lainnya atau memang dirinya.

  "My brother was indeed stupid"

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang