27

42 4 0
                                    

DOR!!!
    Sebuah peluru melesat menembus bahu Nina, hampir mengenai Grace saat itu, kalau Dylan tidak menarik Grace ke pelukannya.

   "I hate you, Dion" batin Nina, sebelum dirinya ambruk di atas rumput halaman itu.

    Yang menembaknya adalah Dion, kakak kandungnya sendiri. Tangan Dion langsung gemetar saat dia menyadari apa yang sudah dia lakukan. Dia langsung menghampiri sang adik yang sudah tak sadarkan diri sepenuhnya. Cairan Berwarna merah pekat itu keluar dengan derasnya.

   "Lo ngapain ke sini?" tanya Geo dengan nada datar, mungkin tak datar semua, ada nada tak suka di sana.

   "Gak boleh apa?" bukannya menjawab, Dion malah bertanya balik dengan nada tak suka.

   "Seharusnya lo gak ne-"

   "Dion" terdengar suara berat dari belakangnya. Semua mata tertuju pada sang pemilik suara yang seorang pria dengan badan tegap, tinggi. Wajah pria itu terlihat marah. Itu benar... Dia marah...

    PLAK!!!
    Mereka yang menyaksikan adegan itu tercengang. Membeku. Mereka baru saja menyaksikan seorang pria menampar Dion dengan kuat, sampai ujung bibirnya berdarah, dan pipi kanannya yang menerima tamparan kuat itu sampai tergores. Sebegitu kuatnya.

   "Jika Nina tidak selamat, apa yang akan kau lakukan?" tanya pria itu mengintimidasi.

   "Aku akan bertanggung jawab" jawab Dion dengan serius, sambil mengelap darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

   "Ya, kau memang harus bertanggung jawab" kata pria itu lalu pergi begitu saja.

    Dion memegang pipinya yang panas dan perih. Dia sudah sering di tampar begitu, tapi tak sekuat ini. Ya, dia pasti tau ini akan terjadi. Dia beruntung masih di tampar oleh ayah angkatnya. Jika saja yang melihat itu Doni, ayah kandungnya, mungkin saat itu juga nyawanya akan melayang.

   "Grace telepon am-" ucapan Tamara di potong dengan cepat.

   "Jangan!" Dion dan Geo mengucapkan kata itu bersamaan dan keduanya langsung bertatapan tak suka. Yang melihat kedua cowok itu, juga saling bertatapan bingung. Sejak kapan kedua orang itu jadi begitu?

   "Mereka kenapa?" tanya Tamara pelan pada Devano yang berdiri di sebelahnya. Cowok itu hanya mengangkat bahu, tidak tau.

   "Brengsek lo, Dion" umpat Geo kesal. Dion menatapnya dengan tatapan membunuh. Geo juga begitu, dia dengan cepat menggendong tubuh Nina sebelum Dion yang melakukannya.

   "Jadi, ini ceritanya rebutan?" Grace mengerutkan dahinya, bingung melihat kelakuan kedua cowok itu.

    "Lo lebih baik telpon dokter pribadi Nina, daripada lo bengong disitu" kata Geo, sambil melangkah menuju pintu masuk. Dion mendengus kesal, dia tidak bisa membantah Geo saat ini. Jadi, yang dilakukannya adalah menelepon Lisana. Dokter pribadi Nina sejak kecil.

***

Pukul 08.00 pagi.

   "Gue kayak apaan tau, sampe di borgol gini" batin Nina kesal. Dia tidak bisa bergerak bebas di atas tempat tidurnya, tangan kirinya di borgol dengan pinggiran besi ranjangnya.

   "Nina sudah bangun?" tanya seorang wanita paruh baya, yang baru saja masuk ke kamarnya.

   "Kalau gue udah buka mata berarti udah bangunkan? Mata tuh pake!" batinnya. Ingin rasanya Nina menjawab begitu, mengingat yang bertanya itu dokter pribadinya, Lisana. Nina urung niatnya. Dia hanya mengangguk lemah.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang