33

55 3 0
                                    

"Beneran gak ada, guys" kata Nina pelan. "Lari ke mana tu mayat?"

   "Jangan becanda, curut" Tamara nampak kesal. Nina melirik gadis yang sedang berdiri di sebelahnya itu.

   "Okay, sorry. Tenang aja, Ra. Gue juga liat kok mayatnya di bawah air mancur"

   "Ha? Maksud lo?" tanya Lenar heran. Nina tidak menjawab.

   "Maksudnya, di bawah kolam air mancur ada ruangan tempat mayat itu, ya kan?" jelas Geo. Nina mengangguk sekali.

   "Emang ada gitu?" tanya Dylan memastikan.

   "Zeo yang tau, gue mah mana tau" jawab Geo. Sekarang, perhatian mereka terpusat pada Zeo.

   "Berisik lo bang, ogah banget gue buka tu pintu udah macet bin karat" Zeo terlihat malas melakukan yang kakaknya suruh secara tidak langsung, lewat tatapannya.

   "Pintunya di dalem air ya?" tanya Nina mengalihkan perhatian padanya. Gadis itu sedang mencelupkan tangan kanannya ke air, meraba sesuatu yang ada di dalam air itu.

   "Eh? Apaan nih?" Nina menarik tangannya keluar dari dalam air. Memperlihatkan suatu pemandangan mengerikan. Mereka semua terpaku, tak ada yang bergerak sedikit pun dari tempatnya.

   "Hiiii!!!" Nina membuang benda yang berhasil di ambilnya dari dalam air itu. Benda bulat, dengan rambut, itu kepala manusia. Gadis itu berlari menjauh dari tempat air mancur itu.

    Tak ada yang bicara atau pun bergerak selama beberapa saat, semua terpaku pada pemandangan barusan. Berbeda dengan Nina yang sudah menghilang dari taman air mancur itu. Dia pergi entah ke mana.

   "Yo... Lo buka ruang bawah tanahnya sekarang!" perintah Geo pada adiknya itu. Zeo hanya diam, menuruti perintahnya saja.

    Zeo berlahan membuka pintu dengan engsel yang sudah berkarat, yang ada di sebelah air mancur itu. Pintu berkarat itu terbuka, bau kayu lapuk tercium bersamaan dengan debu yang bertebaran ke mana mana.

   "Buset dah... Debu coy" Dylan mengibas ibas tangannya sembarangan.

   "Iyalah, udah lama gini, pintunya aja sampe karatan tuh" ucap David sok tahu. Biasalah...

   "Lo tau udah lama dari mana?" tanya Lenar menyelidik.

   "Tebak tebak buah manggis"

   "Serah"

    Nina melangkah melewati lorong villa. Dia berhenti si depan pintu lusuh dengan beberapa papan kayu yang di pakukan di sana. Gadis itu terus menatap pintu itu dengan saksama, mencari cari cela untuk melihat ke dalam. Tapi nihil hasilnya.

   "Ada apa ya di dalem?" tanyanya penasaran. Melangkah mendekati pintu itu. Nina berhenti tepat di depan pintu itu, memegang kenop pintu yang sudah berkarat. Meraba raba papan pintu itu, terus mencari cela untuk melihat ke dalam. Lagi lagi hasilnya nihil. Pintu itu tertutup rapat tanpa di beri cela sedikit pun.

   "Bikin orang kepo!" serunya kesal sambil menghentak kakinya ke lantai seperti anak kecil di depan pintu itu.

    Saat sedang mendengus kesal melihat pintu tanpa cela sedikit pun untuk dirinya melihat ke dalam. Hembusan angin dingin menerpa kulit Nina. Dia terdiam. Memejamkan matanya, merasakan dari mana hembusan angin itu. Saat Nina membuka matanya, dia sudah berada di tempat lain. Putih sepanjang mata memandang. Dingin.

   "Di mana?" batinnya bertanya pada diri sendiri. Nina menyapu pandangan ke sekelilingnya. Hanya dirinya sendiri di tempat dingin itu. Nina melihat ke kakinya yang sedari tadi merasa sangat dingin, entah sejak kapan dia tidak memakai alas kaki di atas danau es itu.

   "Jangan becanda sekarang!" Nina mulai panik. Dia di mana?

   "Ada orang apa gak sih? Kok cuma gue sendiri?" tanyanya kesal, sambil melangkah perlahan di atas es tipis itu, dia tak ingin terjatuh ke dalam air danau es itu, pasti dingin sekali.

   Sejauh apa pun Nina melangkah, hanya dataran es lah yang di temui olehnya. Tak ada siapa pun selain dirinya. Sampai dia melihat seorang gadis yang sedang bermain cello. Nina menghampirinya. Berniat bertanya dia ada di mana.

   "Hey, Nina" sapa gadis itu, dia berhenti bermain alat musiknya. Nina diam, mungkin jika orang biasa yang melihat wajah gadis itu, pasti akan sangat cantik, tidak di mata Nina, wajah hancur itu mengerikan.

   "Kayak Kuchisake Onna aja" batin Nina ngeri, melangkah mundur dengan teratur.

   "Ini di mana?" tanya Nina memberanikan diri. Gadis itu tersenyum manis, sayangnya tidak menghilangkan wajah mengerikan itu dari pandangan Nina.

   "Di danau es, ada di villa kok" jawabnya lembut. Bukan suara lembut yang di dengar di telinga Nina, suara serak yang terdengar di telinga Nina.

   "Tai ah! Males amat gue, kok mukanya serem amat, sendiri lagi di sini, ya Allah, apa salah hambamu yang imut ini?"

   "Di villa gak ada danau" ucap Nina pelan. Gadis itu menelengkan kepalanya ke kiri, bingung.

   "Benarkah? Mungkin sudah hilang di telan bumi"

   "Setan ada ada aja"

   "Jalan keluar mana yah?" tanya Nina. Gadis itu seketika memasang wajah tak sukanya. Mengerikan.

   "Tidak ada jalan keluar!" jawabnya dengan nada penuh amarah. Nina mundur menjauh, tapi tangannya di cekal. Tangannya di cengkeram gadis itu.

   "Lepas!" Nina menepis tangan dengan banyak luka sayat itu. Pergelangan tangannya luka karena gadis itu mencengkeram tangannya kuat sekali tadi.

   "Tidak! Kamu mau ke mana? Padahal aku baru saja mengobrol dengan seseorang setelah lama di kurung di tempat yang sangat dingin ini!" gadis itu kembali mencengkeram tangan Nina.

   "Lepas! Kamu siapa? Kamu siapa yang bisa maksa aku tetap tinggal, padahal aku tidak mau?!" bentak Nina, kembali menepis tangannya.

   "Kok geli ya ngomong pake aku kamu, lo kate kita pacaran? Idih... Najiz!" batin Nina merinding sendiri saat bicara barusan.

   "Aku....bukan siapa siapa, hanya seseorang yang di kurung di kamar dengan air yang meluap sampai menenggelamkanku" katanya lirih. Nina mengangkat satu alisnya, bingung.

   "Nama?" tanya Nina tak jelas.

   "Namaku?" tanya gadis itu balik. Nina mengangguk.

   "Nina Lutwigde"

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang