03

140 7 0
                                    

"...na, Nina! Woy! Budek!" panggil Tamara, membuyarkan lamunan Nina.

  "Apaan? Ganggu aja bisanya" gerutu Nina yang merasa kegiatannya terganggu oleh sahabatnya satu ini.

  "Lo ngelamunin apa? Cowok?" tanya Tamara dengan senyum miringnya. Nina menatapnya datar.

  "Nggak juga sih. Lo kali yang ngelamunin cowok waktu itu" timpalnya, mengungkit-ungkit kejadian di cafe. Soal Tamara yang sudah melihat seorang pangeran berkuda putih lewat.

  "Wah... Lo bener, dan gue gak peduli" katanya dengan cueknya.

  "Bagus donk,daripada lo sakit hati nanti" kata Nina cuek.

  "Gue gak pernah sakit hati" balasnya lebih cuek lagi.

  "Whatever"

   Sekarang, mereka ber-4 sudah berada di taman belakang villa yang diisi dengan berbagai macam bunga. Salah satunya bunga kesukaan Nina, chrysanthemum yang berwarna merah muda ada diantara banyaknya jenis bunga itu.

  "Si pemilik villa siapa ya?" tanya Grace penasaran. Lenar mengalihkan fokusnya dari layar ponselnya setelah mendengar pertanyaan Grace. Lenar penasaran juga rupanya.

  "Siapa?" tanya Lenar singkat.

  "Coba tanya sama villa-nya" jawab Nina asal, malas menanggapi mereka ber-2. Dia sibuk dengan bunga dihadapannya.

  "Villa gak bisa ngomong, pe'a" Tamara menjitak kepala Nina yang sedang berjongkok disebelahnya. Nina menatapnya kesal.

  "Jangan kepala! Nanti gue tambah o'on gimana?" protes Nina tidak terima kepalanya di jitak cukup kuat oleh Tamara.

  "Emang gue pikirin" yang di protes oleh Nina tidak peduli sama sekali.

  "Damn you! just know make people upset than make people happy" Nina beranjak dari posisi jongkoknya dan pergi meninggalakan Tamara begitu saja.

  "Akhir-akhir ini tu anak cepet marah ya" Grace mengomentari kepergian Nina dari hadapan mereka.

  "Lagi pms kali" Tamara menanggapinya seadanya.

***

  Di perjalan melewati lorong villa yang luas dan kosong itu, Nina selalu memerhatikan sisi kirinya. Sesosok gadis kecil yang dia temui kemarin itu mengikutinya. Mengajaknya bicara, tapi Nina mencampakannya.

  "Zuster, kom met mij spelen!" gadis kecil itu mengajak Nina bermain, tapi Nina malah memasangkan earphone dikedua kupingnya.

  "Laten we spelen, zus" ajaknya lagi dengan suara memelas yang dibuat-buat. Tapi masih terdengar mengerikan. Malah tambah mengerikan.

  "I will not make... " Nina sengaja bernyanyi lagu kesukaannya. Because of you.Agar tidak mendengar suara hantu disebelahnya.

  "Wat ik was erg griezelig, totdat de zuster wilde niet met me spelen?" suara gadis kecil itu memelan, dia berhenti berjalan mengikuti Nina. Dia menangis di tempatnya melayang.

  "Oh, seriously?" Nina melepas earphone di kupingnya dengan kasar. Dia berbalik dan menghampiri gadis kecil itu.

  "Wat wil je?" tanya Nina, sosok gadis kecil itu mengangkat kepalanya yang tadi menunduk. Terlihat jelas dia menangis. Menangis darah.

   Ini kelemahan Nina. Anak kecil yang menangis. Tak peduli itu hantu atau manusia. Dia tidak tahan melihat tangisan anak kecil.

  "Laten we spelen!" ajaknya bersemangat. Nina menatap ngeri saat ada kelabang yang keluar dari tempat bola matanya berada.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang