26

51 4 0
                                    

"Devano"

    Cowok itu datang dengan kepalanya yang terluka. Mereka semua langsung menghampirinya. Sibuk bertanya dan mengelap darah yang terus keluar dari luka di dahinya itu. Itu kerjaan Tamara, dia langsung menyuruh Nina mengambil kotak P3K yang dia simpan di dalam lemari boneka.

    Nina memasuki rumahnya, berjalan menuju ruang tamu. Dengan cepat membuka pintu kaca lemari yang dipenuhi boneka di dalamnya. Tangannya masuk ke sela sela boneka itu, dan menyentuh sesuatu di dalam sana. Dingin. Itu yang dia rasakan saat menyentuh sesuatu yang ada di dalam sana. Perlahan Nina mengeluarkan satu persatu bonekanya. Tak mau terjatuh semua.

   "Nina, lo ngapain main boneka? Bukannya nyarik kotak P3K? Rumah lo pasti ada kan?" tanya Grace saat melihat Nina sedang membongkar seisi lemari. Untuk beberapa saat Nina mengabaikan dirinya, dan sesaat kemudian, Nina mundur beberapa langkah, saat itu juga sesuatu jatuh ke atas lantai, dengan bau tak sedap tercium juga.

    Seakan akan mayat itu tak ada di sana. Nina melangkah mendekati lemari dan mengambil kotak berwarna putih di bagian sebelah kiri lemari, yang berbentuk rak rak. Lalu, setelah mengambil kotak itu, Nina menarik lengan Grace dan membawanya ke halaman belakang lagi.

   "Gue urus nanti, tenang aja" kata Nina pada Grace yang masih tak bersuara di sebelahnya.

    Saat sampai di halaman belakang yang tak terlalu jauh dari ruang tamu itu. Nina langsung memberikan kotak itu pada Tamara dengan cara melemparnya. Pikirannya tiba tiba jadi kacau. Kenapa bisa ada mayat di lemari bonekanya? Hanya pertanyaan itu yang melintas sesaat itu pikirannya. Dia tidak menanyakan tentang kepala Devano. Dia juga tidak menanyakan tentang kasus yang terjadi di seberang rumahnya. Yang dia pertanyakan siapa yang menaruh mayat di lemari boneka miliknya?

   "You okay, Na?" tanya Grace saat melihat wajah pucat Nina.

   "Ya" jawabnya pelan. Lalu beranjak pergi, masuk kembali ke dalam rumahnya dengan membawa gunting yang dia gunakan untuk merapikan bunga bunga di halaman itu. Itu gunting kecil, yang sangat tajam.

    Sebelum Nina memasuki rumahnya itu. Geo menghentikan langkahnya. Memegang bahunya. Nina segera menepis tangan Geo dan berlari masuk ke dalam sana. Geo hanya melihat gadis itu dari jauh, dan beberapa saat kemudian lampu ruang tamu di matikan oleh Nina di dalam sana.

   "Dia mulai lagi" batin Geo. Lalu menutup pintu yang menghubungkan halaman belakang dan ruang Tv.

   "Napa lo tutup?" tanya Dylan bingung. Yang lain menatapnya dengan tatapan bingung juga.

   "Lo semua gak akan mau lihat yang ada di dalem" kata Geo. Kembali duduk di atas sofa ayunan, menutup wajahnya dengan buku majalah yang ada di atas meja, memejamkan matanya untuk beberapa saat.

    Tak ada yang bersuara lagi. Mereka memilih mengakhiri pembicaraan di sini. Sekarang, sibuk dengan kegiatan masing masing. Ketenangan itu tak berlangsung lama, saat terdengar suara benda di lempar dengan kuat ke dinding. Suasana tegang datang saat itu juga. Tak lama suara lain lagi menyusul. Semakin tegang, tak ada yang bergerak dari tempatnya, tak ada juga yang bersuara.

    David yang pertama kali bergerak membuka pintu yang tadi di tutup Geo, dan Geo mengabaikannya. Tak peduli. Lenar mendekati pintu itu. Melongo ke dalam, gelap. Dylan yang ikut melongo melihat ke dalam, sibuk mencari sakelar lampu. Tangannya meraba raba dinding sampai menemukan sakelar itu, dan menekannya, menyalakan lampu. Ketiga orang itu terdiam, membeku.

   "Woy, lo pada kenapa?" tanya Tamara, beranjak berdiri dari posisi bertekuk lutut untuk mengobati luka Devano. Menghampiri ketiga temannya. Grace juga ikut menghampiri mereka yang berdiri mematung di depan pintu.

    Mata mereka menangkap pemandangan mengerikan di ruang tamu yang tak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri saat itu. Cat dinding yang berwarna putih bersih tanpa noda apapun, sekarang penuh dengan cairan berwarna merah di dinding itu, di lantai dengan keramik putih itu menggenang cairan berwarna merah pekat, di sofa putih itu banyak cipratan cairan warna merah itu. Di mana mana, terutama di baju putih yang di gunakan gadis yang sedang duduk bersandar di belakang sofa, menghadap ke arah mereka, duduk meluruskan kedua kakinya, dengan sebuah kepala di pangkuannya.

    Nina yang sedang duduk bersandar di belakang sofa menghadap ke arah teman temannya yang jauh di sana, melihatnya dengan raut wajah ketakutan. Wajah pucat teman temannya itu membuatnya semakin nafsu untuk memotong setiap bagian tubuh mereka. Itu terlihat jelas dari senyumnya yang lebar, dan mengerikan. Di tambah cairan berwarna merah terang yang hampir menutupi seluruh wajahnya.

   "Di bilangin juga apa" guma Geo dengan acuh tak acuh.

   "Boleh kubunuh juga kan?" batin Nina masih setia dengan senyuman lebarnya.

   "Mendingan lo tutup tu pintu, keburu dia ngebunuh lo" kata Geo, yang langsung di laksanakan oleh kelima orang itu.

   "Jangan di tutup!" cegah Nina dari tempatnya. Dia baru saja beranjak berdiri, membuang kepala seseorang itu sembarangan.

    Seperti ada yang menahan pintu itu sangat sulit untuk di tutup, bahkan dengan lima orang. Nina melangkah berlahan lahan mendekati mereka. Semakin dekat gadia itu, semakin sulit untuk menutup pintu, bahkan pintu terdorong, terbuka lebih lebar.

   "Damn it! " Geo berlari menjauh dari tempat itu, sayangnya karena ada pagar tinggi di belakangnya yang menghadang jalannya, jadi dia hanya bisa berlari sampai pagar tembok itu. Yang lain mengikutinya berlari menjauh. Sebenarnya mereka bisa saja memanjat pagar itu, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali memanjat pagar itu saat ini.

   "Kok gini jadinya?!" tanya Grace setengah berteriak takut.

   "Guys, kalo ini terakhir kali kita ketemu, gue ma-" perkataan Tamara belum selesai sama sekali. Lenar memotong dengan cepat.

   "Tai mu! Jangan sok dramatis! Kita gak bakal die, understand?!"

    BRAK!!!
    Pintu yang sempat mereka ganjal dengan sofa, bantal, meja, semua yang teraih tangan mereka saat itu, terbuka dengan kasar, semua barang barang yang menganjal pintu itu, terpental ke mana mana. Nina melewati pintu itu setelahnya. Membawa solder di tangan kanannya, dan pisau dapur di tangan kirinya.

   "Kalian pilih yang mana? Yang kanan atau yang kiri?" tanya Nina sambil mengangkat kedua tangannya. Kedua benda yang di pegangnya sama sama pengantar kematian yang menyakitkan. Sebenarnya tak ada pengantar kematian yang enak, semua menyakitkan, ya kan?

   "Kenapa dia kayak gini?" tanya Lenar pelan, dengan suara parau. Dia takut.

   "Ini alter ego nya yang psikopat" jawab Geo pelan. Ke enam temannya itu melihatnya. Pandangan mereka untuk sesaat fokus pada Geo, lalu beralih kembali ke Nina, yang mulai menyalakan alat solder itu.

   "Dev, lempar dia" pinta Geo, lebih terdengar seperti perintah sebenarnya. Devano mengikuti apa yang dikatakan Geo. Dia punya telekinesis jadi bisa melempar barang tanpa perlu menyentuh benda tersebut.

    Pecahan beberapa beling dari vas bunga yang hancur saat Nina membanting pintu itu melesat kearahnya dengan cepat. Nina tak menghindar, tepatnya dia tidak sempat menghindar. Hanya pasrah membiarkan kulitnya tergores pinggiran tajam pecahan vas bunga itu. Saat serangan beling sesaat itu berhenti, Nina langsung melempar pisau dapurnya ke arah Devano, mata pisau itu sukses membuat luka panjang di bahu cowok itu.

    Nina berjalan mendekat lagi. Devano tidak bisa berkonsentrasi saat itu, luka yang dibuat Nina sukses membuat konsentrasinya buyar. Dia tidak bisa menggunakan telekinesis untuk sementara, sampai konsentrasinya kembali lagi. Nina berjalan semakin dekat...

    DOR!!!

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang