34

44 3 0
                                    

   "Nina Lutwigde" jawab gadis itu.

   "Hah?!" sontak Nina berseru terkejut. "Fotokopi namaku!"

   "Lucu...kamu yang fotokopi namaku, aku jauh lebih tua darimu, Nina Arzenitha"

   "Serius?"

   "Dua rius"

   "Siapa kamu? Aku serius" kali ini raut wajah serius lah yang di perlihatkan pada gadis itu.

   "Aku ini Nina Lutwigde. Aku sudah sangat lama meninggal dunia. Mungkin sekarang kalau aku masih hidup, umurku pasti seratus lebih" katanya sambil terkekeh pelan.

   "Makam?"

   "Makam? Aku tidak punya itu, aku hanya asal di kubur saja, kau tau... Aku anak buangan yang tidak pernah di anggap ada kehadirannya oleh siapa pun, tanpa pengecualian" jelasnya dengan nada merendah.

   "Umurmu saat meninggal?"

   "16 tahun, tepat saat ulang tahun ku"

   "Biar aku tebak, ulang tahun mu tanggal 18 November?"

   "Kau pikir kita kembar berbeda alam? Ulang tahun ku tanggal 13 November"

   "Bulannya sama!"

   "Berhenti mempermasalahkan hal yang tidak penting lagi"

   "Jadi, kamu di kubur di mana?"

   "Di bawah tempatmu berpijak"

    Nina melihat ke bawah kakinya. Samar samar terlihat peti mati di dasar danau es itu. Perlahan lantai es tempatnya berpijak mulai retak, Nina melihat kembali ke arah gadis tadi, tidak ada, gadis itu menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan sedikit pun tanda ke hadirannya.

    KRAK!

    Lantai es itu retak, sampai hancur menjatuhkan Nina ke dalam dingin nya air danau es itu. Saat itu juga, Nina kembali pada dirinya, kembali berdiri di depan pintu yang di pasangkan beberapa papan agar tidak ada orang yang masuk.

   "Di bawah tempatmu berpijak"

    Nina mengingat perkataan gadis itu tentang tempat dirinya di kubur. Segera Nina menjauh dari tempat itu, kembali berlari ke taman tempat air mancur itu berada, tempat teman temannya berada. Dia sampai di tempat tujuan.

   "Nina, napa lo?" tanya Grace, melangkah menghampiri Nina.

   "Bisa bantuin gue gak?" tanya Nina tanpa menghiraukan pertanyaan Grace barusan.

   "Bantuin apa?" Lenar melangkah menghampiri Nina. Gadis itu langsung menarik tangan Lenar dan Grace bersamaan, membawa mereka berlari sampai ke pintu yang sudah lapuk itu. Sementara yang lain, mengikuti di belakang.

   "Apaan?" tanya Grace, melepas tangannya dari genggaman tangan Nina yang cukup erat.

   "Buka pintunya!" titah Nina tegas. Semua terdiam mendengar nada suara Nina yang berubah drastis.

   "Untuk apa?" tanya Zeo dengan tatapan tajamnya. Nina balas menatap tajam cowok itu.

   "B. U. K. A. P. I. N. T. U. N. Y. A!" perintah Nina lagi, setengah berseru, dengan di eja.

   "Untuk apa, Na?" tanya Zeo lagi.

   "Denger gak gue bilang buka pintunya!!! Terus bongkar ni lantai!" Nina menghentakkan kakinya di atas lantai dia berpijak. Semua pandangan terpusat pada lantai yang ternyata kosong bawahnya itu.

   "Kalo gak, gue sendiri aja yang lakuin" lanjut Nina. Tangan gadis itu bergerak, melepaskan beberapa papan yang sudah lama terpaku di sana. Geo menahannya.

   "Ada apa emangnya di dalam sana?" tanya Geo dingin.

   "Gue gak tau. Tapi, yang gue tau ada mayat di bawah lantai yang sekarang gue injek ini" jawab Nina, mundur beberapa langkah.

   "Serius?"

   "Sepuluh rius kalo bisa. Buruan bongkar!" perintah Nina. Mereka saling bertatapan bingung harus bagaimana.

   "Bu-"

DOR!!!

   "Lenar!!!" panggil Grace dan Tamara hampir bersamaan, menghampiri tubuh yang sudah terjatuh di atas lantai dengan dahi yang bolong.

   "Pak... Yanto" mereka terkejut melihat siapa yang baru saja membunuh Lenar dalam satu tembakan itu. Pak Yanto, kakak dari Pak Tanto yang sudah terbunuh beberapa minggu lalu.

   "Pergi kalian. Saya tidak mau ada korban jiwa lagi, gara gara kalian ke sini. Para pegawai di sini terbunuh! Kalau saja kalian tidak ke-"

BUGG!!!

Sebuah pukulan kuat mendatar tepat di belakang kepala Pak Yanto. Zeo berdiri di belakangnya dengan sebuah tongkat bisbol di tangannya, yang entah di dapatnya dari mana.

"Jangan salah paham. Gue gak mau dia banyak cincong, dan gue gak mau ada yang mati lagi" katanya. Geo berjalan menghampirinya, tangannya terangkat. Dan sukses membuat Zeo meringis kesakitan karena pukulannya yang cukup kuat tadi.

   "Jangan bunuh orang kali"

   "Gue gak mau mati sekarang!"

   "Lo bedua diem!" teriak David, membuat mereka terdiam. Sementara kedua gadis itu terisak, Nina memilih membuka pintu itu, tanpa peduli sekitarnya.

   "Na, lo ngapain?" tanya Dylan. Nina tidak menggubris pertanyaan Dylan, dia fokus pada pintu itu, lalu beralih ke lantai yang di pijaknya.

   "Solder mana?" tanyanya pada diri sendiri, mencari cari ke sekeliling taman yang tak jauh dari situ. Entah kenapa dia mencari solder di situ.

   "Nina, lo bisa gak berenti sebentar, bisa gak lo kesini sebentar, lo liat kan sahabat lo udah gak..." Grace kembali terisak, Dylan langsung memeluknya erat. Nina lagi lagi mengabaikannya, kembali mencari benda yang cukup kuat untuk membuka pintu itu.

   "NINA!" panggil David kesal melihat gadis itu terus saja tidak mempedulikan temannya sendiri.

   "Berisik! Apa?! Lo gak liat gue lagi sibuk! Udahlah, gak udah drama banget! Yang udah pergi biarin aja pergi!" Nina berteriak kesal. Tatapan matanya tajam, tak ada sedikit pun bekas kesedihan di sana.

   "Lo gak punya perasaan"

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang