37

55 4 2
                                    

"Wake up!!!" teriak Nina, sambil menyiram air hangat pada kedua orang yang di ikat olehnya di sebuah kursi.

   "Aw!!" Grace mengaduh, air hangat itu berhasil membuat kulitnya memerah. Dylan hanya menatap tajam Nina yang menyeringai senang di hadapannya.

   "Morning, sleeping beauty dan hmm... Whatever" Nina menjauh beberapa langkah dari kedua orang yang baru saja disirami air hangat.

   "Ni...na" panggil Grace lirih. Nina hanya diam, melihatnya dari jauh.

   "Mana Nina?" tanyanya lagi, membuat gadis yang di tanya mengangkat sebelah alisnya, bingung.

   "Ini Nina, emang Nina mana maksud lo?" tanya balik Nina.

   "Nina gak bakal bunuh sahabatnya sendiri!" seru Grace penuh amarah. "Lo bukan Nina!!!"

   "Wow... Calm down, ini Nina Arzenitha... Mungkin maksud lo, Nina Lutwidge?"

   "Siapa Nina Lutwidge emangnya?!" tanya Grace mulai putus asa. Nina memutar bola matanya jengah.

   "Itu, kerangka yang ada di bawah air mancur taman itu, namanya Nina Lutwidge, siapa coba yang ngubur dia di sono?" jawab Nina dengan mendatar, tanpa ekspresi, sesekali dia menguap dengan bosan.

   "Kenapa lo nembak Lenar?" tanya Grace lagi, suaranya melemah, seperti sedikit lagi akan habis.

   "Kenapa ya? Bukannya om-om itu yang nembak, kok gue?" tanya balik Nina. Membuat Dylan yang sedari tadi diam, berseru kesal, "setan lo! Tinggal jawab aja susah!"

    Nina mengerjap ngerjap matanya berkali kali. Lalu menghela nafas bosan, berbalik arah menuju pintu kamarnya. Gadis itu baru saja menyekap kedua temannya di dalam kamarnya di villa itu.

   "Bentar ya, cari Zeo dulu, ilang ke mana tu bocah ya?" katanya sebelum benar-benar keluar kamarnya yang terasa pengap, seperti di sebuah penjara tanpa jendela atau pintu, gelap.

   "Saran ya, sebaiknya lo bedua cari cara buat kabur, atau masuk rak istimewa" ucapnya, menghidupkan lampu kamarnya. Sekarang terlihat jelas banyak darah di atas keramik putih kamar itu. Telunjuk Nina mengarah pada sebuah lemari besar di pojok ruangan.

   "Kalian juga kayak gitu nanti" lanjutnya, lalu keluar kamarnya, dan menutup pintu tanpa menguncinya sama sekali.

   "Lenar..." gumam Grace lirih, berusaha menahan air matanya yang hendak keluar saat itu juga, saat melihat kepala salah satu sahabatnya terpampang jelas di balik kaca lemari itu.

   "AAAGGGRRHH!!!" sebuah teriakan memilukan, mengalihkan perhatian kedua orang itu.

    BRAK!!!

    Nina masuk dengan nafas terengah engah, dia baru saja pergi dan sudah kembali dengan wajah yang di nodai cipratan darah. Nina masuk, dan duduk di tempat tidurnya. Tangannya meraih sebuah kotak p3k. Mengambil kasa dan kain perban.

   "Shit!! Si Devano punya telekinesis, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Mengambil cermin genggam. Mengarahkan cermin itu ke lehernya, sebuah luka memanjang di leher bagian kirinya. Grace membelalak kaget melihat luka itu yang sedikit menganga. Mengerikan.

   "Hey, Devano bisa telekinesis ya?" tanya Nina pada kedua orang yang sedang di ikat olehnya. Tak ada yang menjawab, Nina pun sepertinya juga tidak mengharapkan jawaban. Gadis itu kembali sibuk dengan luka di lehernya, yang berhasil Devano buat saat dirinya hampir menembak Tamara yang berlari menjauh. Pisau dapur itu sukses membuat luka memanjang di lehernya.

   "Devano ma Tamara, nanti aja kali ya... Zeo terakhir" gumamnya. Tapi, masih bisa terdengar di telinga Dylan dan Grace tentunya.

    Setelah beres dengan lukanya, Nina melihat kedua orang itu, berjalan mendekat. Tangannya mengambil tang yang ada di atas meja. Dia tersenyum mengerikan.

   "Biar Nina cabut kuku nya ya" ucapnya, mengerikan. Membuat Grace meronta minta di lepas.

   "JANGAN!!!" teriak Grace menggelegar. Tanpa peduli ekspresi takut di wajah Grace. Nina tersenyum, melakukan yang dia inginkan. Mencabut satu persatu kuku jari jemari kedua temannya itu.

   Gadis itu selalu menyeringai setan, setiap kali mencabut salah satu kuku dari jari jemari salah satu dari dua orang itu. Dia menikmati bau darah yang mulai menyengat dan setiap jeritan pilu. Psikopat nya terbangun.

   "Beres... Okay, now part jugulate!!!" serunya. Melempar tang dan mengambil gergaji besi di pojok ruangan. Grace sudah setengah sadar, kesadarannya melemah. Dylan masih memiliki seluruh kesadarannya, cowok itu terus menatap tajam Nina penuh amarah.

   "Okay!!! Are you ready???" tanya Nina sambil terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri. Dia menunjuk Dylan dan Grace bergantian.

   "Nina anggap, yeah" jawabnya sendiri. Gergaji besi itu terayun dengan cepat. Belum sempat merobek leher Grace, Nina jatuh. Tersungkur di atas lantai yang dingin penuh bercak darah.

   Shit, umpatnya dalam hati. Sambil memegang bahu kanannya, berusaha mencabut sebuah carter di sana. Dylan menatapnya ngeri.

   "Devano... Dammit!!!" serunya kesal, mencabut carter itu dengan kasar. Mengambil kembali gergaji besi yang tadi sempat di jatuhkan olehnya.

    Tanpa menunggu lama, di ayunkan dengan cepat gergaji itu ke arah leher Dylan. Sejurus kemudian, kepala itu sudah terpisah dari tubuhnya. Grace yang masih setengah sadar, membelalakkan matanya, menatap tubuh cowok yang selama ini selalu mengisi pikirannya sudah menghilang.

   "You psychopath, gak punya perasaan, IBLIS!!!"

    Nina tertawa puas.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang