38

109 3 4
                                    

"Beres!" Nina tertawa puas di depan lemari rak yang di penuhi genangan darah.

   "Hmm... Bau nya wangi amat, kayak ni ruangan pake parfum segudang ajah, jadi pengen makan orang" racau Nina, sambil mengibas tangannya di depan wajahnya.

   "Astagfirullah, Insyaf-lah wahai manusia..." Nina mengusap dada sok drama. Tak lama, dia terkekeh geli sendiri. "He... Just kidding"

    Nina meletakkan sebuah kepala dengan rambut panjang, light brown. Sekarang ada tiga kepala temannya di dalam rak itu. Dia baru saja memenggal leher dua temannya. Seringai lebar terukir jelas di wajah penuh darahnya. Nina mengelus pelan wajah Grace, setitik air jatuh di pipi kirinya, dia menangis.

"You psychopath, gak punya perasaan, IBLIS!!!"

    Perkataan Grace kembali memenuhi kepalanya. Entah apa yang dia tangisi sekarang, tapi setelahnya gadis itu tertawa kesetanan. Dia berbalik, meninggalkan kamarnya, tak lupa dengan sebuah gergaji besi di tangan kanannya. Nina, berjalan menuju rooftop.

   "Dingin" gumamnya pelan, berjalan ke pinggir. Tak lama, turun hujan. Nina menutup matanya lama, menikmati hujan yang menerpa dirinya. Terdengar langkah kaki, samar, karena tertutupi oleh hujan yang turun cukup deras.

    Merasa ada yang mengawasi, Nina berbalik dan saat itu juga seseorang mendorongnya kuat, hingga tubuhnya terhuyung, terpeleset dan jatuh dari atas rooftop. Sekilas, Nina melihat wajah orang yang baru saja mendorongnya.

    BRAK!!!

   "AAAGGRRR!!!"

    Gadis itu berteriak saat terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membanjiri dahinya, matanya menyapu sekelilingnya. Masih dengan nafas tersengal, gadis itu turun dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah ke sebuah lemari besar di pojok ruangan.

   "Berhenti menghantui gadis manis sepertiku" omelnya pada benda mati itu. Tangannya membuka dua pintu lemari besar itu, "mengerti?" telunjuknya menunjuk dahi kepala seseorang. Hanya kepala saja, tertancap di atas besi tajam.

   "Morning, everyone" sapanya pada ke 7 kepala temannya yang baru beberapa hari lalu di rengut nyawanya.

    Toktoktok...

    Pintu diketuk dari luar. Segera Nina menutup lemari itu rapat rapat, dan membukakan pintu kamarnya.

   "Kak Dion" sambutnya riang. Kakaknya, Dion tersenyum hangat padanya.

   "Ayo, sarapan" ajaknya, dan segera disetujui dengan anggukan dari Nina. Keduanya berjalan menuruni tangga, menuju meja makan yang sudah terisi dengan sarapan pagi ini.

   "Pa!" seru Nina bersemangat, dia langsung menghampiri papanya dan memeluknya erat.

   "Ya, gak bisa nafas papa, Na" Nina segera melepas pelukannya dan duduk di sebelah papanya.

   "Jadi, Nina hari ini sekolah lagi?" tanya gadis itu seperti anak kecil. Sang ayah hanya mengangguk sekali sebagai jawaban dan itu sukses membuat Nina melompat lompat kegirangan.

   "Ayo! Nina gak sabar lagi mau ke sekolah!" ucapnya bersemangat.

   "Abisin sarapan kamu dulu, Nina" ucap Doni pada putri bungsunya itu. Nina segera mengangguk, dan melahap makananya.

***

"Udah, sono masuk kelas, nanti telat" Dion menyuruh adiknya cepat bergerak. Karena sedari tadi dia bicara diabaikan dan Nina hanya diam di tempat, memandang sekelilingnya.

   "Iya, bye big bro!!!" Nina berlari melewati koridor, dia berhenti di depan kelas 11A. Kelasnya dulu, dia tersenyum, kenangan itu melintas lagi di kepalanya. Seperti film hitam-putih.

***

Malam yang dingin. Nina berjalan ke pinggir pagar rooftop. Hujan turun, mengguyur dirinya. Tanpa di sadarinya, seseorang mendekat, tak terlalu terdengar karena hujan yang menutupi suara langkah kaki. Nina menyadarinya. Segera dia berbalik.

    Brak!!!

    Seorang mendorongnya, hampir membuatnya terjatuh dari atas rooftop itu. Devano Arkan berdiri sambil memegang sebuah revolver. Nina meringis, punggungnya sakit membentur pinggiran pagar.

   "Hey, Vano, mana Ara?" tanyanya masih sempat, padahal ada sebuah pistol revolver di depan dahinya.

   "Apa hubungannya gue sama Tamara?" tanya balik Devano. Nina tersenyum. Tangannya bergerak memegang revolver.

   "Jadi, cowok peka dikit napa? Si Ara suka sama elo" jawab Nina sambil tersenyum miring, perlahan menurunkan revolver itu dari dahinya, Devano tetap menatapnya tajam.

   "Devano, mau jadi salah satu koleksi lemariku gak?" tanya Nina dengan smirk-nya. Devano menepis tangan Nina yang memegang revolver miliknya cukup kuat, membuat gadis itu sedikit terkejut.

    Nina diam, dia melihat ke arah gedung sekolahnya, perlahan dia berjalan memasuki pekarangan sekolah. Ingatannya kembali berputar ulang.

    Saat itu, Nina melihat tangannya, terdapat luka goresan kecil di telapak tangannya, gadis itu menatap tajam Devano, mengerikan. "Kau...melukai tanganku!" serunya mengerikan. Dengan cepat, gadis itu mencekik leher cowok di hadapannya. Devano terhuyung, terjatuh di atas lantai dingin, dan Nina yang menahannya. Perlahan tangannya bergerak, menodong Nina di belakang kepala gadis itu dengan revolver.

    Nina tersenyum setan, "tembak kalau bisa, Devano" tantangnya, jari telunjuk Devano perlahan mulai menekan pelatuknya, Nina menyeringai. Mengerikan melihat wajahnya saat itu.

   "Devano" panggil Nina, lalu melepas cekikannya. Nina duduk di atas Devano, dengan cekatan, Devano menodongkan revolvernya lagi, tepat di dahinya. Nina memegang tangan Devano, ikut menekan pelatuk revolver itu. "Silakan"

    Terlalu fokus dengan gadis yang di hadapannya, Devano tidak menyadarinya, tangan kanan Nina masih bebas bergerak, dan saat itu lah, Nina meninju rahang cowok itu. Dengan brutal, gadis itu menusuk mata kanan Devano, berkali-kali. Membuat cowok itu berteriak kesakitan. Memilukan. Tapi, Nina suka.

   "Biar kuberitahu, Devano Arkan. Jangan lengah jika berhadapan langsung denganku" ucapnya, berdiri dan langsung mengambil sebuah sekop yang ada di dekat sana. Mengarahkan ujung besi sekop itu ke arah leher Devano. "Ada salam untuk Tamara?"

   "Maaf" gumam Devano, tapi Nina mendengarnya. Sejurus kemudian, ujung sekop itu sudah memisahkan kepala dan badannya. Nina kembali menyeringai dengan bercak darah di wajahnya, "akan kusampaikan"

    Gadis itu menghela nafas, perlahan melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Semua pasang mata melihatnya. Nina tersenyum ramah pada mereka semua.

   "Hai, namaku Nina Arzenitha, salam kenal, semoga kita bisa berteman baik ya..."

Nina menyeringai samar di hadapan seisi kelas.

END

***
Selesai!!!

Akhirnya beres...
Maaf soal si Tamara sama Zeo nya gak di jelasin...
Bodo amatlah

Abaikan saja, mereka yang terbuang
Huahahahaha *ketawa jahat bentar 😅😅

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang