"AAAGGGGRRRRHHH!!!"
Teriakan memilukan telinga terdengar di seluruh penjuru lorong gelap itu. Grace berlari sambil terus memegang bagian perut sebelah kirinya, darah terus mengalir keluar dari sana, membasahi bajunya. Grace baru saja mendapat luka tembak di sana, dia sendiri, tak ada yang bisa membantunya sekarang. Kenapa mereka harus berpencar? Kenapa Grace begitu bodohnya, lari sendirian di lorong lorong gelap tanpa lampu yang menerangi itu? Sudah tau Nina bisa membunuhnya kapan saja.
"Grace... Mau main sembunyi sembunyi nih ya? Awas lho, Nina jago kalo main kayak ginian, tau kan, tebakan Nina 80% benar" suara mirip anak kecil itu terdengar menggema di lorong kosong itu. Grace memaksa kakinya yang sudah mulai gemetar itu untuk lari lagi.
"Yah... Kacang... Geo, kamu tau di mana Grace?" Nina melihat kembali kepala cowok yang beberapa saat lalu di pegalnya. Sedari tadi, dia selalu membawa kepala itu, mendekapnya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang pistol Glock 20 itu.
Matanya kembali menyapu seluruh lorong. Seringai mengerikan terlihat di wajah pucat gadis itu. Nina menemukan yang sedang dicarinya sedang berlari tertatih di sana, mencoba menjauh darinya. Nina mereka reka jaraknya dengan Grace yang masih berlari menjauh darinya.
"Hmm... Pas ya, selangkah lagi" Nina maju selangkah, mengangkat tangan kanannya, mengarahkan pistol itu ke sasarannya. Dalam hitungan detik, peluru itu sudah melesat cepat, mengenai bahu kanan Grace. Nina menyeringai puas, berjalan mendekati Grace yang sudah tumbang di atas lantai dingin malam hari.
Nina duduk memeluk lututnya sendiri di sebelah tubuh Grace yang sudah tak berdaya. Gadis itu menoleh melihat wajah Grace, lama dia memerhatikan wajah gadis di depannya. Tangannya bergerak mengangkat dagu Grace.
"Bonus deh, buat Grace ku tersayang, matinya sama Dylan ya, biar couple-an ya, kan David sama Lenar udah KO bedua juga, sama sama aku tembak di jidatnya, terus Grace sama Dylan mau di apain?" tanya Nina dengan senyum manis. Tapi tidak manis di mata Grace, itu senyuman haus darah dari Nina Arzenitha. Dia sudah tak sabar menyiksa teman terdekatnya ini.
"Hmm, gak jawab... Okay, biar Nina yang milih, gimana kalo di jatohin dari lantai empat atau lima yang di bawahnya ada pager, biar nancep, atau gak terjun aja dari rooftop yang ngarah ke kolam, mau?" tambahnya lagi, membuat Grace bergidik ngeri. Nina cemberut mendapati Grace lagi lagi tidak menjawabnya.
"Lebih mudah di gergaji aja kali ya" katanya setelahnya, Grace langsung membelalak terkejut, berusaha beranjak berdiri, percuma, duduk saja dia susah.
"Gak deh, mending di gantung aja ya, kayak teru teru bozu" Nina menopang dagu, memasang wajah bingung. Dia tidak berhasil menemukan cara yang cocok untuk membantai kedua orang temannya itu.
"Intinya lo mati" itu kata terakhir yang di dengar Grace, sebelum Nina membunuhnya. Entah kenapa, dia hanya pasrah. Nina berdiri, melangkah meninggalkan dirinya begitu saja, seakan tidak peduli jika Grace akan lari nanti.
"Sekarang, Dylan di mana ya?"
***
"Sial! Grace mana sih?" Dylan terlihat cemas, sedari tadi dia mondar mandir di ruangan pengap itu. Tak ada lampu yang menerangi ruangan yang dia tempati sekarang, cowok itu bahkan tidak mencoba untuk mencari penerangan, untungnya Dylan Alexander sudah siap sedia, dia membawa senter di saku hoodie nya. Dia terlalu cemas pada gadis itu. Tau lah...kalo udah suka kan gitu, pikirannya cuma ke satu orang, itu aja, sampe dapet orangnya.
BRAK!!!
Suara pintu di dobrak dari luar. Dylan terkesiap. Segera dia bersembunyi di dalam sebuah lemari besar yang ada di pojok ruangan. Entah kenapa, udara terasa semakin dingin menusuk kulit.
"Gak ada ya?" tanya sebuah suara. Dylan mengintip dari sela pintu lemari itu untuk melihat si pemilik suara. Nina Arzenitha berdiri di sana sambil memegang sebuah linggis di tangan kanannya.
Nina? Sialan, apa gue terlalu berisik tadi?, pikir Dylan.
"Ya udahlah, gak ada di sini... Cari tempat lain, si Dylan susah bet di carinya, Nina gak suka main petak umpet sama Dylan" gerutu gadis itu seraya berbalik dan pergi, tapi tidak benar benar pergi, dan bodohnya, Dylan malah keluar dari lemari itu berlahan.
"Gotcha!" seru Nina, tangannya merogoh saku outer nya yang sudah basah dengan darah Geo. Ya... Hanya Geo yang langsung di bunuh dari jarak dekat.
Sebuah pistol yang di gunakan untuk menembak Grace tadi di arahkannya pada sang target. Dylan.
DOR!!!
"Nice shot, Nina!" serunya senang saat peluru itu berhasil mengenai bahu kanan Dylan. Cowok itu tidak berteriak kesakitan, tapi malah terhuyung jatuh ke belakang. Nina diam, melangkahkan kakinya mendekati Dylan yang meringis menahan sakit.
"Sakit?" tanya Nina. Berjongkok di depan Dylan yang masih menahan sakit di bahu kanannya. Linggis yang di pegang Nina bergerak berputar. Sampai Nina menyeringai setan linggis itu berhenti dan langsung menusuk tangan serta bahu Dylan yang terkena tembak hingga menembus ke belakang.
"AAAAGGGGRRRRHHH!!!" teriakan pilu memekakan telinga. Nina tertawa kesetanan. Baginya, teriakan itu adalah nada dering yang bagus untuk ponsel nya.
"Seharusnya gue rekam teriakan lo tadi, Dylan Alexander Graham Bell" cibir Nina. Tangannya menekan kuat linggis itu. Dylan mengerang kesakitan.
"Nama gue Dylan Alexander! Gak pake Graham Bell, bego" jawabnya penuh amarah. Tangan kanannya mencengkeram kerah baju Nina.
"Lo kenapa?! Kenapa lo bunuh temen lo sendiri?! Kenapa lo buunuh sahabat lo sendiri, iblis?!" amuknya di depan muka Nina. Gadis itu lagi lagi menyeringai mengerikan.
"Karena gue suka" jawab Nina enteng. Dylan membelalak tercengang mendengar jawaban Nina.
"Tapi, gue gak pernah seseneng ini pas nyiksa orang, lho. Jadi, gue sayang banget ma kalian semua yang udah mau lari larian, main petak umpet, dan..." Nina menggantung kalimatnya. Dylan menatapnya tajam, seperti hendak memakan gadis di hadapannya itu hidup hidup.
"...udah mau nambahin koleksi kepala di kamar gue" lanjutnya, tangannya meraih sesuatu dan menunjukkannya pada Dylan.
"Gue bakal tarok Geo di rak paling atas, kalo lo bakal gue tarok di sebelah Grace, di rak nomer dua, ya..." tambahnya, membuat Dylan merinding melihat nanar kepala teman dekatnya itu.
"Oya... Liat Zeo gak?" tanya Nina. Sayangnya, Dylan tidak mendengarkan, secara tiba tiba pendengaran nya terasa menghilang. Tak ada yang dapat didengar oleh Dylan kecuali bunyi mengiang ngiang seperti jangkrik di malam hari. Kesadarannya berangsur angsur hilang.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Okay... Sampe sini dulu...
Kepala gua butek mikir kelanjutannya pegimana??? ⊙_⊙
( ̄. ̄)
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLA
Mystery / ThrillerHanya ada satu bunga yang berbeda jenis dan warnanya di dalam rumah kaca yang berisi bunga-bunga chrysanthemun.... Jika ada yang men-copy cerita ini... Bersiaplah... NINA AKAN MENGHIASI HARIMU DENGAN JERITAN MIMPI BURUKMU!!!