31

39 2 0
                                    

Nina terbangun.
Dia duduk di pinggir tempat tidurnya, sambil melihat sekitarnya. Bola matanya berhenti memerhatikan sekitar, sekarang tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 08.30.

   "Kesiangan!" batinnya. Nina langsung merosot turun dari tempat tidurnya, berlari menuju kamar mandi. Lima menit selesai dia membersihkan diri.

   "Pa...Nina pergi dulu ye!" serunya, saat sudah berada di depan pintu keluar.

   "Kemana?"

   "Villa nya si Geo"

   "Ya"

***

   "Stop!!!" seru Tamara, saat melihat Nina keluar dari mobil nya. Dia baru saja sampai villa lima menit lalu. Dan Tamara tiba tiba datang dan mencegatnya untuk masuk ke dalam villa.

   "Apaan sih?" tanya Nina jengkel. Menepis tangan Tamara yang di acungkan ke depan untuk menghentikan pergerakannya itu.

   "Lo tau dari maneh si Zeo adeknya si Geo, ha?"

   "Yah, atuh... Kemaren tuh, si Zeo nelpon aku, jadi aku tau dia itu adeknya si Geojing" jawab Nina dengan logat Sunda nya.

   "Oh... Gitu... Terus ngapain lo di si-" Tamara belum sempat menyelesaikan ucapannya. Lidah nya tiba tiba terasa kelu. Matanya sedikit membelalak, melihat lurus ke arah belakang Nina.

   "Ra... Ada ya?" tanya Nina ragu ragu. Punggung nya terasa dingin. Tamara hanya mengangguk samar, hampir tak kentara.

   "Ranyet! Nina bobo!" panggil Lenar dari jauh, kedua orang yang merasa nama mereka di panggil itu, menoleh mencari sumber suaranya berasal.

    Lenar berdiri di depan pintu masuk villa, bersama Grace, David, plus Dylan. Nina tersenyum lebar melihat teman temannya di sana, juga karena rasa dingin di punggungnya sudah lenyap. Tamara langsung menarik Nina menjauh dari sana, Nina spontan menendang pintu mobil nya yang masih terbuka lebar itu, baru mengunci mobil sport berwarna hitam itu.

   "Sejak kapan kalian sampe sini? Kok gue kagak tau ya?" tanya Nina heran.

   "Nebeng mobil Devano" jawab Tamara. Itu jawaban Tamara.

   "Nebeng mobil David" jawab Grace dan Lenar bersamaan.

   "Lah? Kok lo gak nebeng mobil nya si Dylan, G?" tanya Nina lagi.

   "Si Dylan aja nebeng mobil Geo, mentang mentang mobil Geo Ferrari" celetuk Grace, sekenanya.

   "Ferrari?!" seru Nina heboh. Ke tiga cewek itu mengangguk.

   "Maklum lah, anak CEO"

   "Anak CEO?!"

   "Lo sama aja pe'a!"

   "Nggak kok. Nina kan baik dan tidak sombong"

   "Songong lo!"

    Perang mulut di mulai beberapa detik setelah itu. Tiga lawan satu. Yang menang pasti tiga. Tapi ini kebalikannya. Yang menang adalah satu. Si Nina pake jurus apa coba?

   "Kran bocor" guma Dylan tak tahan melihat kelakuan ke empat cewek itu.

   "Gitu dech, anak cewek kan gitu. Cerewet, selalu benar, dan... Gitulah" David menimpali. Dylan menyetujuinya.

   "Ada lomba burung beo apa?" tanya Geo yang baru saja muncul tiba tiba langsung ada di depan David dan Dylan. Ke empat cewek itu diam seketika. Mereka menatap cowok yang baru muncul itu ngeri. Gimana gak ya, si Geo baru loncat dari balkon lantai dua. Iya... Lantai dua...

   "Berisik" kata Devano yang juga datang tiba tiba. Entah darimana kalau yang satu ini. Mungkin dari semak berduri itu?

   "Kok mereka langsung nongol? Pake alat transportasi apaan coba?" tanya Nina heran, se heran heran yang dia bisa.

   "Kebiasaan ninggalin gue, lo bang" seorang cowok datang dengan wajah kesal.

   "Iyalah, adikku tersayang"

   "Zeo..." panggil Nina ragu. Cowok itu melihatnya, lalu tersenyum.

   "Mirip!" seru Nina setelahnya. Dia langsung mendekati Zeo. Melihat dari ujung sampai ke ujung.

   "Kalo gini mah, gue gak bakal bisa milih salah satu kalo di suruh milih" katanya.

   "Mulai dech"

***

Villa terasa sama seperti saat mereka pertama kali datang. Yang berbeda adalah penghuni di kamar kamar kosong di sepinggir lorong lantai dua.

   "Kok kayaknya nambah dech" guma Tamara pelan sekali. Dia sedikit takut dengan suasana mencengkam ini. Tanpa sadar memegang ujung lengan baju Devano. Cowok itu terlihat berusaha untuk tidak tersenyum, atau pun tertawa. Terlihat di wajahnya.

   "Hey, hey, hey, you two" suara Nina terdengar aneh. Serak. Sedikit mengerikan. Mereka berhenti berjalan, melihat Nina.

   "Suara lo napa?" tanya Grace ragu ragu.

   "Emang kenapa suara gue?" Nina bertanya balik. Saat itu suaranya kembali seperti biasa. Tapi, tetap mengerikan jika di dengar dengan jelas di tempat sepi seperti ini. Suara seperti anak kecil.

   "Gak. Ayo, ruang musik nya udah deket" kata Zeo. Mereka kembali berjalan. Tapi, berhenti lagi saat suara sesuatu jatuh dengan keras. Tak jauh dari mereka.

    DUK!!!

   "Ih... Kok jadi horor gini?" keluh Grace. Tamara sudah membeku di tempatnya, Nina menyadari itu. Segera dia melihat arah pandang gadis itu, air mancur tengah taman tengah. Air yang turun dari puncaknya tidak bening lagi, tapi merah. Tubuh seseorang tertancap di puncak runcing air mancur itu.

   "Damn it" umpat Dylan, segera menarik tubuh Grace ke pelukannya agar tidak melihat itu. Grace meronta ingin di lepas.

   "Ap-"

   "Jangan liat. Kalo lo liat, lo bakal nyesel nantinya" kata Dylan tajam. Grace terdiam, tidak memberontak lagi. Dia membiarkan Dylan memeluknya untuk sesaat. Mungkin?

   "Itu... Si Dery?!" tanya David tak percaya.

   "Dery kelas kita..." kata Lenar lirih.

   "Kok bisa?" Devano ikut bingung. Matanya melihat air mancur itu sesaat, lalu kembali melihat gadis yang berdiri membeku di sebelahnya.

   "Dek, liat" kata Geo berbisik pelan pada Zeo yang berada di sebelahnya, sambil menyikut lengan Zeo. Matanya memberi isyarat.

   "Nina..." katanya lagi. Masih berbisik. Zeo melihat Nina yang berdiri di sebelahnya, tersenyum lebar.

   "Gak bagus" guma Zeo.

   "Iya, lo bener" Geo membenarkan.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang