35

43 4 0
                                    

    Brak!


    Mereka berlari dengan seluruh tenang yang masih tersisa. Percuma mencari jalan keluar dari tempat yang luas itu. Semuanya entah sejak kapan telah di kunci. Di segel dengan kuat, entah sejak kapan. Yang pasti, mereka di kejar, oleh salah satu teman mereka sendiri.

    DOR!!!

    Peluru hitam itu menembus kaki Tamara.

    "AAAAGGGRRRHH!!" teriaknya kesakitan, sangat kesakitan. Tapi, dia masih tetap berusaha berlari menjauh. Devano dengan sigap menggendong tubuh gadis itu, dan kembali berlari, menjauh.

    Lucu, romantis nya pas kayak gini, nafsu banget buat bunuhnya, batin orang yang baru saja meletuskan peluru itu. Pistol Glock 20, pistol yang ringan dan tipis, tapi mengerikan, ada 15 peluru berukuran 10 mm di dalamnya, sekarang karena Nina sudah menggunakan satu peluru, tersisa 14 lagi.

    Asal tau saja, isi dari ransel Nina itu lain dari yang lain. Biasanya berisi pakaian untuk menginap di villa itu. Memang ada sih, tapi ada di satu tas saja. Tas yang kedua isinya bukan pakaian, melainkan SENJATA API. Gadis itu punya banyak di rumahnya itu.

   "Nina kenapa lagi sih?" tanya Grace pada Dylan yang berlari di sebelahnya. Cowok itu hanya menggeleng sekali, tidak tau.

   "Kok gini sih?" keluhnya. Masih terus berlari.

    Geo, Zeo, mana ya?, tanya Nina pada dirinya sendiri. Tangannya sibuk mengisi kembali peluru pistol nya yang sudah habis beberapa menit lalu. Mau main...

    Clek...

    Nina menarik pelatuk pistol nya itu. Matanya melihat sekelilingnya, sampai iris mata kelam itu menangkap sesuatu di ujung jalan. Terlihat samar, sesuatu berjalan mondar mandir di sana. Nina berjalan menghampirinya.

   "Zeo!" pekik Nina seperti anak kecil. Dia langsung menodong pistol itu ke arah seseorang yang ada tak jauh di hadapannya. Orang yang merasa terpanggil, menoleh. Tepat saat pistol itu mengeluarkan peluru nya.

    DOR!!!

    Meleset. Tidak sedikit pun mengenai orang itu. Nina menurunkan tangannya.

   "Geo..." gumanya pelan.

   "Lo...pasti mau bunuh gue kan?" tanya Geo dengan pelan. Bukannya menjawab, Nina malah berjalan melewatinya. Gadis itu mengabaikannya.

   "Udah inget?" Geo mencekal tangan Nina. Dia berhenti melangkahkan kakinya, diam, tanpa menoleh sedikit pun kearah Geo.

   "Inget apa?" tanya balik Nina. Geo menarik tangannya, membuat mereka jadi saling berhadapan.

    "Siapa yang gak inget sama lo sih, Yo?" Nina tersenyum manis padanya. Tangannya teruntai, menepuk pelan puncak kepala cowok itu. Geo segera menepis tangan itu, membuat Nina sedikit terkejut.

   "Serius Nina" tegasnya. Nina mundur beberapa langkah. Tangannya merogoh saku rok nya, dan mengeluarkan sebuah pisau yang masih dalam sarungnya.

   "Nih... Makasih" katanya, menyerahkan pisau itu. Geo mengambilnya, menarik keluar pisau itu dari tempatnya. Gerber Mark II.

   "Ni-"

   "Bye, Argeo Zen"

    Nina menodongkan pistol itu lagi, tepat di depan dahi Geo. Bukannya takut jikalau peluru itu benar benar menembus kepalanya, cowok itu hanya diam. Tenang sekali wajahnya. Dia, Geo tersenyum tipis.

   "Bye, Nina Arzenitha" ucapnya pelan sekali.

    DOR!!!

    Tubuh itu tumbang saat itu juga. Belum sempat tubuh itu menyentuh lantai yang dingin, Nina menahannya. Berlahan gadis itu duduk, dan memangku kepala cowok yang baru saja di bunuhnya itu.

   "Night"

    Gadis itu mengecup singkat dahi Geo. Dia tersenyum hangat melihat wajah itu, menyingkirkan rambut yang sedikit mengganggunya untuk melihat wajah itu lebih jelas lagi.

   "Nina memang selalu ingin memiliki Geo seutuhnya, tak ada yang boleh memiliki Geo, selain Nina, ya kan, Geo?" Nina mengambil pisau Gerber Mark II yang ada di tangan Geo, mengarahkan pisau itu ke leher Geo. Perlahan merobek kulit putih pucat yang sudah tak dialiri darah lagi. Memotong semua yang di lewatinya. Sampai kepala itu terlepas dari tubuhnya.

    Nina memegang kepala itu, perlahan dia berdiri dengan susah payah, kakinya terasa mati rasa, lagi. Selalu begitu, tapi Nina menutupi kekurangan dirinya dalam hal berjalan, lumpuh selama beberapa tahun karena kecelakaan yang membuat saudari kembarnya meninggal dunia, dia trauma. Nina trauma akan berjalan, dia takut tak bisa berjalan lagi. Tapi, masa bodoh dengan trauma itu, gadis itu sudah terlanjur termakan obsesi nya yang selalu menginginkan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri. Di tambah, karena ada yang lain di jiwanya.

   "Ish.... Kaki gak bisa di ajak kompromi, mati rasa pas keadaan kayak gini?! Okay, bertahan Nina. Satu lagi, masih ada satu lagi. Jangan melow dramatis deh"

    "Zeo... I am coming!!!" serunya seperti anak kecil itu menggema di lorong luas itu. Nina berjalan sambil terus memeluk kepala itu dengan erat. Seakan dia tidak mau kepala itu terlepas dari genggamannya. Tak peduli aliran darah segar yang terus mengalir mengenai baju dress selutut, yang juga berwarna sama dengan darah yang mengalir,

merah gelap.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang