17

53 2 0
                                    

   "NINA LO MAU BUNUH GUE?!" teriak Geo, Nina terdiam, dia terkejut.

    Benda-benda yang barusan melayang itu berhenti, dan kembali di tarik gravitasi, jatuh. Nina terdiam, menatap wajah seorang cowok yang berada tepat di hadapannya. Sangat dekat, hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Nina menyeringai setan.

   "Mati lo!" teriaknya kesal

   "Geo awas!"

    DOR!!!
    Tak ada satu pun yang bergerak. Mereka terdiam menyaksikan peluru yang sangat cepat menembus kulit Geo. Mata mereka tertuju pada tubuh yang berdiri di dekat pintu, tubuh tak bernyawa milik Pak Tanto di depan pintu masuk labirin itu bergerak seperti zombie. Dia lah yang menembak Geo.

   "Hahahaha! Sakit? Oh, maaf, gue tau itu pasti sakit, kan"

   "Sialan lo, Na. Lo bener-bener gak punya perasaan" kata Geo pelan, dengan nafas yang mulai melemah. Dia ambruk tak lama dari itu, menindih tubuh Nina.

   "Berat!" Nina berteriak kesal untuk kesekian kalinya.

   "Maaf" guma Geo pelan di telinga Nina.

    JLEB!!!
    Gunting besar yang di pegang Nina tadi, sekarang menancap di bahu gadis itu. Geo yang menancapkan gunting itu, dia bangkit kembali. Mencabut kasar gunting itu dari bahu Nina.

   "Sa...kit" kata Nina parau. Dengan cepat dia mendorong tubuh Geo, sebelum cowok itu kembali menusuknya lagi. Berlari ke luar rumah kaca.

   "Nina!" panggil Grace, ingin rasanya dia mengejar gadis itu, tapi lagi-lagi urung niatnya, Dylan menahannya lagi.

   "Tamara" Lenar menghampiri Tamara.

   "Gue udah sekarat lo baru mau bantuin, sungguh teganya"

   "AAGGR! SIAL!" teriak Geo geram, mengacak-acak rambutnya frustasi, tak peduli dengan luka tembak di bahunya. Toh, dia sudah menusuk bahu Nina juga. Jadi, impas kan?

   "Mulai gila dia" guma David pelan.

   "Woy, gue sekarat!" seru Tamara kesal, dengan sisa-sisa tenaga. Devano menyeringai datar, lalu menggendong tubuh Tamara seperti tuan putri alias ala bridal style.

   "Bantu jalan aja kali, gak usah di gandong, Dev" kata Tamara pelan membuang muka dari Devano yang tersenyum miring, menggoda Tamara yang mulai merona.

   "Bikin iri ya..." desis Grace.

   "Mau nih gue gendong kayak gitu, Grace?" tanya Dylan, iseng nya kambuh.

   "Sorry, ya, Dyl. Sayangnya, gue gak mau" tolaknya.

   "Mau kali"

   "Nggak!"

   "Kalo mau juga gak papa kok, honey"

    Grace memelototinya. Dylan hanya senyum-senyum.

   "Jijik, najis"

   "Biarin"

   "Baru tau gue, Dylan kayak gitu orangnya" kata Lenar pada dirinya sendiri.

   "Begitulah, namanya juga Dylan Alexander Graham Bell" David menimpali.

   "Pala lo, emang dia penemu telepon apa?"

   "Bukan, dia bukan penemu telepon tapi penemu pohon dari dalem pohon"

   "Ngarangnya jago banget lo" kata Lenar dengan nada menyindir.

   "Ya, gue kan emang pengarang kali"

   "Anjir! Lo semua, malah mesra-mesraan, gue sekarat gak di bantuin ini?!" Geo kesal melihat teman-temannya yang mengabaikannya, sampai melempar semua yang ada di dekatnya, saking kesalnya.

VILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang