Lexi pulang ke Mansion

1K 41 5
                                    

Namaku Lexi Roxette, dan aku bukan orang paling mulia yang ada didunia ini. Apa yang kau harapkan dariku? Kalau kau punya seseorang yang sangat brengsek dalam hidupmu yang memaksamu melakukan hal-hal buruk, jangan coba memberiku nasehat. (Aku memulai cerita ini dengan perasaan getir karena marah, segera aku pun menguasai diri).

Musim semi 1930 tepatnya Februari, sisa-sisa pernak-pernik tahun baru masih menempel diruang Aula depan Mansion keluargaku. Aku sangat lelah sejak perjalanan pesawat yang panjang dari New Zealand. Well, aku kuliah disana untuk meneruskan program sekolah cepatku di Inggris London. Aku tinggal di daerah Richmoun, yang mana bisa kau tebak kalau aku berasal dari keluarga bangsawan.

Pelayan menyambut mantel rasfur merahku saat aku berjalan tak sabar masuk kedalam ruang depan.

Sudah tiga tahun kursi dari kulit beruang kesukaanku tidak pernah kududuki. Aku memang merindukan suasana Mansion ku yang mewah sejak tiga tahun tinggal di Asrama. Tapi bukan itu yang membuatku pulang akhir pekan semester ini... itu karena adiku Tara Roxette.

"Dimana dia?" tanyaku pada pelayan sambil menyesap teh panas.

"Keluar dengan kuda untuk berjalan-jalan sebentar Mrs.Lexi." jawab pelayan.

Aku mendengus, "Apa dia tak bersemangat bertemu denganku? kukira dia akan menyambutku dengan kue puding atau apalah, saudari bodoh."

Tara sebenarnya cukup mirip denganku, kami nyaris kembar. Tapi akibat sifat kami yang bertolak belakang, gaya hidup serta penampilan kami 360 derajat berbeda. Tara memiliki rambut pirang kemerahan yang panjang sepinggang, dan bentuknya ikal bergelombang seperti pasta spageti itali. Nah, sedang aku? aku membotaki sisi kiri, kanan, dan belakang--hingga menyisakan bagian permukaan atas dan poni sepanjang leher. Itu membuatku terlihat sedikit seperti Pria muda, belum lagi sifatku yang agak maskulin sedikit.

Tak lama suara derap kuda terdengar dari pelataran depan yang berlapis marmer seluas halaman rumah pada umumnya. Kudengar pintu juga dibukakan oleh pelayan.

Aku menggulung lengan kemejaku, dan menaikan kerah leherku yang berbordir emas. Poni Rambut pirang kemerahan didepan wajahku kujepit kesamping agar tak menutupi wajah saat aku menatap adikku.

Dia datang. Aku melipat tangan didada dan berdiri dengan sombong.

"Kakak... kau datang lebih cepat dari perkiraanku." katanya sambil membungkuk sopan.

Sarung tangan berkudanya masih belum dilepaskan--dan itu tidak sopan!

"Tentu saja, kau pikir aku tidak sibuk? Aku punya banyak proyek dan sekolah yang harus kujalani! bukan putri kerajaan malas yang ketantang-ketenteng tak jelas mau kemana!" kataku dengan nada formal.

Aku bisa melihat kemarahan sekilas pada wajah Tara yang memerah sekilas, dan matanya agak melotot. Namun dia menahannya dan menggantinya dengan senyuman.
"Maafkan basa-basiku kakak... mari kita tidak menunggu lagi, ini undangan sidang yang disampaikan Pengacara Ayah dan Ibunda tercinta."

Kulihat Tara mengeluarkan selembar amplop dengan tenang dari balik saku jaket kulit dombanya.

Kubuka bungkus amplop itu, dan api ditungku menjadi membara seolah mengikuti emosiku ketika membacanya... "Tidak bisa... ini kesalahan." gumamku.

Tara mengangkat bahu, "Well, mungkin. Tapi itulah yang dilakukannya sebelum mati. Kesalahan atau tidak, itu keputusan final."

Aku menatapi kedalam mata Tara dalam-dalam, sangat dalam sehingga dia risih bahkan untuk mengalihkan pandangan matanya.
"Tidak bisa..." ulangku dengan bibir gemetar. "Tara, pikirkanlah... tolong... kita harus membagi rata 50:50."

Entah dia sengaja atau tidak, adikku menguap sebelum berkata, "Entahlah Lexi, tapi aku ingin menghormati wasiatnya."

The Ersatz Perished (kematian palsu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang