Warisan kekayaan Roxette

458 31 2
                                    

Orangtuaku mati sekitar dua minggu lalu karena kecelakaan Trem yang fatal.

Sebuah mobil taksi hitam menabrak Trem yang dinaikinya ketika jalan menanjak turun.

Akibatnya Trem meluncur turun kejalan tanpa bisa dihentikan oleh Rem yang keluar dari jalur rel. kecelakaan itu menewaskan 23 orang termasuk mereka.

Kudapat kabar buruk ini dari kepala sekolahku di New Zealand setelah ujian akhir semester, dia minta maaf tak mengabariku lebih awal karena tak ingin mengganggu Ujian Akhir sekolah kami. Juga pada hari yang sama telegram kuterima melalui staff dari ruang komunikasi dan informatika asrama.

Di New Zealand aku hanya berduka sebentar, aku terlalu tabah untuk menangis, segera aku mengatur perjalanan pulang ke Inggris setelah Ujian Semester berakhir.

Aku melangkah melewati meja kecil berukiran dari kayu jati untuk bisa menatap langsung kematanya yang berbinar lekat-lekat.
"Pikirkan ini, kau tak layak mendapatkan semuanya! kau tak bisa mengurus perusahaan, bagaimana kau bertanggungjawab? bagaimana dengan semua investasi keluarga kita? properti kita? pengelolaan pajak? dan segala tetek bengek bedebah yang tak bisa kau urus?--"
sepertinya aku tak tahan lagi, kujatuhan semua buku dari rak dan kupecahkan gelas tehku dilantai. Dan aku mulai berteriak, "Yang benar saja Tara!"

"Aku tak suka nada bicaramu Lexi, bukankah seharusnya sekarang kita berduka? kau malah mengamuk dirumah mereka. Itu tidak bertata krama." kata Tara mengingatkan.

"Kau tak tahu apapun soal mengurus kekayaan Roxette, berikan padaku bagian yang layak atau kau hanya akan menghabiskan semuanya sampai kita bangkrut." kataku lebih tenang.

Kulihat dia tersenyum merespon kata-kataku, dari awal aku tahu memang itulah yang diinginkan adik sialan ini.

Adikku Tara adalah seorang atlet, dia gemar mengikuti berbagai lomba dan kompetisi olahraga seperti kriket, polo, anggar, dan bahkan memanah. Kecuali renang, itu bukan bakatnya.

Tapi tak peduli berapa banyak medali dan sertifikat yang disimpannya didalam peti di kamarnya... itu tak ada artinya sama sekali. Tak ada gunanya bagi keluarga ini selain untuk kepuasan dirinya. Dia menolak masuk sekolah Akutansi, memilih impiannya menjadi pemacu kuda. Mengikuti impiannya yang kekanakan--dan bagiku itu egois.

Apa aku senang pada tahun pertama masuk sekolah ekonomi di Jerman? tidak, kuhabiskan hari liburku hanya untuk belajar bahasa Jerman, dimana anak-anak sekolah waktu itu bermain ditaman. Apa aku senang tinggal di asrama New Zealand dan belajar wirausaha, Arsitektur, dan bahkan Permodelan Transportasi modern? Tidak! Tapi itulah yang layak kulakukan... kalau bukan aku kelak yang mengurus perusahaan kereta api dan kapal milik keluarga Roxette--siapa lagi? aku tanya sekali lagi SIAPA?
Tentu saja aku! aku yang begadang tiap malam mempelajari manajemen perusahaan Roxette. Masa mudaku sudah kucurahkan untuk hal yang benar. Sementara Tara? dia berhasil merayu orang tuanya dengan mimpi-mimpi dan pilihan hidupnya yang konyol, aku jijik setiap kali almarhum ibuku memuji-muji medali dari lomba yang dimenangkan Tara, ibuku juga membuatkan bingkainya untuk dipajang diperpustakaan demi mendukung anaknya. Tapi apa gunanya? toh dia tak menghasilkan yang lebih berharga dan lebih besar dari perusahaan yang mati-matian dibangun kakek-nenek Roxette sejak abad 18-an.

"Selain itu Tara," kataku lagi, "coba pikir, masa kau dapat 100% bukankah itu tidak masuk akal? meskipun orang tua kita berwasiat begitu, setidaknya kau inisiatif memberikanku bagian... ayolah Tara, ini konyol! Super konyol!"

"Mungkin saja Lexi, akan kupikirkan setelah sidang minggu depan." katanya dengan ekspresi iba.

"Untuk apa kau seluruh harta Roxette?"
Aku menghela nafas dan meremas bahunya dengan kasih sayang. Tapi dia tidak terkejut dengan perubahan sikapku... sejak kami tumbuh dewasa, kami sering bertengkar, dan lagi sejak kepergianku untuk sekolah diluar negeri kami jarang bertemu.
"Apa yang ingin kau beli dengan itu semua? cobalah ceritakan padaku kalau kau menginginkan sesuatu?"

Tara memutar bola matanya tapi tak nampak, dia membuat seolah dia sedang memandangi jam dinding demi menghindar menatap wajahku.
"Aku ingin... mematuhi kehendak terakhir mereka Lexi, itu saja."

Kemudian dia memberiku pelukan singkat dan berbisik, "Senang kau pulang kerumah, istirahatlah dulu."

Aku tak memandangnya lagi ketika dia melangkah melewatiku dan menghilang menuju suatu sudut tempat di mansion luas ini. Kemudian aku duduk didekat tungku, dan berpikir sambil memejamkan mata.

Tak ada gunanya bicara lagi padanya, omongan kami hanya berputar-putar saja, mungkin kami akan mengurus semuanya di sidang minggu depan.

The Ersatz Perished (kematian palsu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang