Pelan sekali Kuda hitam ini, aku tak tahu namanya, hanya saja aku tak hafal nama-nama kuda yang diberikan mendiang Tara pada mereka. Untung ada kuda ini aku jadi tak perlu berjalan ke kota...
....
Aku melewati pintu Bar di mana orang-orang berdirian di pinggiran dinding, suara-suara obrolan bermekaran. Asap menghiasi flappon dan terburai oleh kipas angin di atas.
Kusapu sedikit poniku yang menghalangi sepenggal wajah setelah duduk di bangku depan meja bar.
Musik yang berisik dari corong Gramophone piringan hitam dicampur suara gaduh dan tertawa orang-orang kelas menengah membuat pendengaran terpendam.
Ketika bertender meletakan gelas kaca berisi minuman dan mendorong gelas itu meluncur ke arahku, baru saja tanganku siap menyambutnya-ada tangan lain dengan arloji emas yang menahan gelas itu.
"Hei, itu minumanku." Aku mengarahkan tudingan itu pada pria berkumis putih melengkung yang memakai topi waffle.
Dia hanya melirikku sambil menyeruput gelas, lalu meletakan gelas kemeja dengan bersendawa, "Ahh" lalu dia mengelap bibir dan mulai bicara padaku sekilas, "Apanya?"
"Aku pesan bir itu lebih dulu." Tukasku.
"Oh dear... salahkan bartender itu, dia tidak memberikan layanan VIP."
"Ini Bar lokal, bukan Restoran Perancis Kakek Chaplin (Karakter komedian teater dan film yang terkenal di eropa)"
aku mengatakannya dengan pedas.Bibir merah orang tua itu malah nyengir.
"Oh aku akan memaafkan kelancangan tidak berintelektualmu. Aku langganan lama di Bar ini, makelar susu botol dan pemilik di sini memerlukanku. Jadi, belajarlah tentang prioritas."
Ini membuat wajahku memerah karena marah. "Kau... akan kumatikan retailmu-memangnya kau siapa?"
Aku hampir lupa, aku sudah tak punya perusahaan Roxette lagi. Kalau saja aku tak memakai mantel lusuh ini! Aku pasti sudah menginjak-injak retail bisnis kecil-kecilan belagu ini!Akhirnya aku memalingkan muka, tepat saat itu tangan pelayan meletakan gelas minuman di depanku, aku alihkan perhatian pada minuman. Kutenggak kuat-kuat, rasanya tenggorokan jadi panas, padahal bir nya direndam dengan es batu.
Telingaku ternyata lumayan tajam juga, aku mendengar desas desus di belakangku, di sekitar deretan meja bundar. Beberapa Pria dan seorang wanita dalam gaun hitam malam berbicara sambil mengangkat koran dan mengepulkan rokok.
"Lihat ini Bob! Dalam beberapa hari saham Roxette sudah diburu..."
"Apa mereka dari Inggris?"
"China, dan orang Yahudi Amerika yang pertama dapat."
"Kau mau membelinya Bob? Sepertinya perushaan ini menjanjikan."
"Huh, dengan seluruh gaji ku sebagai seniman Barber selama lima tahun saja masih tidak cukup."
"Kita tak akan dapat kesempatan, lihat? Ini permainan kaum Jutawan, saat ini saja persaingan mendapatkan sisa saham itu masih panas."
Kata wanita dengan lengan dibalut stocking jaring hitam.
Cih... Sial! Aku menggerutu, bisa-bisanya malah mendengar percakapan tentang perusahaanku di saat aku ingin melupakan semua itu. Sial, sial, sial... aku bergumam dalam hati sambil menenggak minuman lagi.
Aku... Mabuk...Sambil mengernyitkan mata aku menatap jam dinding di sudut atas ruangan, tapi sulit sekali melihat angkanya, Jam dinding itu terlihat seperti roda mobil yang berputar... percuma melihat jam.
"Tara Roxette?" aku berhalusinasi, seseorang memanggil namaku.
"Tara Roxette?" suara itu terdengar lagi.
Lalu aku sadar memang ada seseorang di belakangku.Aku berpaling, terlihat sosok gadis berambut panjang keriting seperti spageti dalam sweeter dan rok melingkari kaki berlapis legging ketat berdiri di sana.
Who the hell sih dia ini sekarang? Tapi pasti salah satu teman Tara.
Ketika dia mengambil tempat duduk di sampingku dan memutar tubuhnya berhadapan barulah aku ingat orang ini, Iodine... dia juga atlet Anggar seperti Tara, saat ini dia menyilangkan kaki yang memakai sepatu bot berkudanya.
"Aku turut prihatin atas insiden kebakaran yang terjadi di rumahmu, aku kira kau sudah mati. Tapi syukurlah... Tara aku mencarimu, kami semua khawatir, teman-temanmu beberapa kali mendatangi kediamanmu, tapi hanya ada puing-puing saja di sana. Kami tak tahu sama sekali di mana dirimu..."Aku diam saja, mataku menatap kosong sambil menahan gelas yang tadi ingin aku dekatkan ke mulut. "Iodine..." kudorong dadanya sampai dia terjungkal dari bangkunya. Gadis itu terhempas di lantai. "-jangan dekat-dekat!" kataku dengan suara malas.
Pelayan membawa nampan sempat berhenti bergerak, suara-suara jadi berhenti, semua menatap kami berdua, tapi hanya tiga detik... setelah itu mereka semua acuh lagi.
Aturan umum dalam Bar: jika ingin berkelahi, cobalah untuk tidak sampai mengganggu suasana kalau tidak ingin bokongmu ditendang sekuriti bertubuh besar ke luar ambang pintu masuk.
Benar saja, dari ujung dekat tangga, tukang pel dan pencuci yang paling berotot menyilangkan tangannya, mulai memantau kami diam-diam sambil meremas serbet untuk melemaskan kepalannya."Tara... aku minta maaf." Cepat-cepat gadis itu berdiri dan menepis debu di bokongnya. Dia lalu berkata, "Master mungkin bisa membantumu jika kau perlu petunjuk... dia berpesan padaku kalau dia punya firasat kalau kau harus berkonsultasi dengannya."
Kenapa aku benci Iodine? Kemudian aku tersadar, aku ingat Tara membenci anak ini. Mereka kan Rival berat... hentikan Lexi, kau tidak boleh membawa-bawa kehidupan Tara bersamamu, dia sudah mati... ya, mati. Identitasku hilang, perusahaan lenyap, keluargaku juga mati. Excelent!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ersatz Perished (kematian palsu)
Mystery / ThrillerLexi memalsukan kematiannya dan menyekap saudarinya untuk mengambil identitasnya. Konspirasi dan intrik yang berkembang sejak tewasnya orangtua mereka yang meninggalkan warisan secara tidak adil.